13 April 2015

Cililin

Cililin merupakan sebuah Kecamatan yang Berada di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat.

SEJARAH DESA

Legenda Desa (Sasakala)


Pada Tahun 1800 M Raksawijadilaga dan istrinya Sartika sudah meninggal dunia, maka untuk meneruskan kepemimpinannya diserahkan kepada putranya yang bernama Raksa diberi gelar Raksanegara I dengan memangku jabatan Wedana (karangan) Rongga III, Raksanegara I mempunyai adik bernama Sumalarang dengan jabatan Wedana Ciputri.

Pada Tahun 1840 Wedana Rongga mendapat perintah dari Regent Residen Priangan untuk membuat jalan dimana kewedanaan Rongga akan dijadikan sebagai obyek perkebunan kopi dalam rangka Culturstelsel. Dimana masyarakat pada waktu itu masih kuat dengan bergotong royong maka terwujudlah jalan pekebunan kopi dimulai dari lokasi: Kamp Kaca-kaca, Loji dan Tangsi Gununghalu, surat perintah membuat jalan dengan Bahasa Belanda"uit tuin lijn weg"

Dengan jangka waktu yang cukup lama sampai 10 tahun dan banyak makan korban jiwa, pengerjaan pembuatan jalan tersebut sangat memuaskan Pemerintah Hindia Belanda, sehingga Resident Priangan atas nama Koningklijck Nederland Indie menganugrahkan bintang jasa kepada Raksanegara I berupa piagam perunggu dengan garis tengah 20 cm suatu kehormatan yang sangat besar pada waktu itu dan masih jarang diperoleh, yang sangat kita rasakan adalah manfaatnya sampai sekarang oleh kita semua.

Dengan melihat sejarah sebutan Cililin dikaitkan dengan Bahasa Belanda yaitu pembuatan jalan disebutnya "elina" sehingga dengan kata ini maka timbul nama "Cililin".

Atas jasanya ini adalah kata-kata dari pemerintah Hindia-Belanda sebagai berikut:

Piagio, 20 September 1850

handvest.

Boven open names van in opdracht geven tegen

die zich verdienstelijk maken tuin lijn weg.

MC. VEN HUENDER

RESEIDENT PRIANGO


Yang artinya:

"Priangan, 20 September 1850  Piagam penghargaan atas nama pemerintah, diberikan kepada yang bekerja membuat jalan lurus penghubung jalan Perkebunan"

Dengan adanya kata-kata "uit tuin lijn weg" maka, Drs Said Raksakusumah Ketua jurusan sejarah FKIS IKIP Bandung, ketika mengadakan penelitian di daerah kewedanaan Cililin pada Tahun 1986 berkesimpulan nama Cililin diambil dari kata "uit tuin lijn weg" dan diartikan oleh masyarakat setempat pada masa itu dengan kalimat "Bibit buit pituin cililin wae".

Wedana Raksanegara I diberi gelar sebagai wedana Cililin, yang memerintah dari tahun 1800-1855.

Letak Geografis Kewedanaan Cililin yang membentang di penghujung Barat-Utara Kabupaten Bandung Barat, tepatnya menurut penelitian para ahli purbakala bahwa sebahagian besar Wilayah Kewedanaan Cililin merupakan bagian terdalam dari bekas genangan danau Bandung tempo dulu. Yang mempunyai luas sama dengan Kabupaten Purwakarta atau Kabupaten Subang. oleh karena itu potensi tanahnya sangat subur, karena kesuburannya dipastikan telah banyak dihuni manusia sejak 2000 tahun sebelum masehi.

Dengan masuk dan menyebarnya Agama Islam didaerah Kewedanaan Cililin maka Agama dan Budaya Islam dapat mewarnai kehidupan seluruh masyarakat. Sehingga pengaruh Budha dan Hindu yang terdahulu dapat berakulturasi dengan Kebudayaan Islam. Maka yang timbul adalah motif Islamnya saja. Oleh karena itulah daerah Cililin sejak dahulu dapat julukan" Gudang Santri dan Pabrik haji".

Makanan Khas Daerah Cililin adalah Wajit, Angleng dan Gurilem. Dikelilingi Oleh Peguunungan yang Masih Rimbun dengan Pepohonan dan Wisata yang terkenal di Daerah Cililin adalah Curug/Air Terjun Sawer, Curug Panganten, Curug Malela (daerah Gunghalu) dan Danau Saguling.


Cililin Juga Mempunyai Gedung Bekas Radio NIROM yang Berada di Kampung Radio dan sekolah tertua yang berada di Kabupaten Bandung Barat adalah SMA Negeri 1 Cililin.








Bangunan bekas radio NIROM Cililin yang dibangun sekitar 1908-1916
dan beroperasi sekitar tahun 1918-1924

07 April 2015

Sejarah Perkembangan Sunda Dalam Tiga Kerajaan

Jauh sebelum masuk masa sejarah di Tanah Sunda sudah ada kehidupan manusia. Itu terbukti dengan ditemukannya benda-benda prasejarah di beberapa situs, antara lain di Gua Pawon (Citatah, Kab. Bandung Barat), pesisir utara antara Tangerang – Rengasdengklok, Kelapadua (Jakarta), Kampung Muara dan Pasir Angin (Bogor), Dataran Tinggi Bandung, Lembah Leles, dan Kuningan. Ada pula yang hingga kini masih menjadi penelitian para arkeolog adalah situs Gunung Padang di Kabupaten Cianjur.
Satu hal yang menarik perhatian dari tempat-tempat tersebut ialah didapatkannya tradisi tua yang berbaur dengan tradisi muda. Benda – benda prasejarah yang dimaksud antara lain berupa alat perkakas kehidupan sehari-hari yang terbuat dari batu, perunggu, besi, dan tanah liat (beliung persegi, kapak corong, ujung tombak, mata panah, batu asah, periuk, dsb.); perhiasan yang terbuat dari batu, perunggu, kaca, dan logam (gelang, manik-manik); dan alat upacara keagamaan yang terbuat dari batu dan perunggu (menhir, batu dakon, dolmen, susunan batu besar, dsb.). Menurut wujud,bentuk, dan lokasinya, jelas benda – benda tersebut merupakan hasil pembuatan manusia, bukan ciptaan alam. (Ekadjati, 1984).
Adapun setelah jaman prasejarah tersebut, masa awal masuknya sejarah di tanah Sunda merupakan masa-masa berdirinya sebuah kerajaan pertama yang ada di tanah Sunda sendiri. Berikut kerajaan-kerajaan yang pernah ada diawal-awal masa sejarah Sunda:
1.        Kerajaan Salakanagara
Berdasarkan naskah Wangsakerta (Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara –yang disusun oleh sebuah panitia dan diketuai oleh pangeran Wangsakerta--), Salakanagara diperkirakan merupakan kerajaan paling awal di Nusantara. Para sejarawan seperti Husein Djajadiningrat, TB . H. Ahmad, Hasan Ma’arif Ambary, Halwany Michrob, dan yang lainnya memperkirakan bahwa Banten mempunyai nilai-nilai sejarah yang tinggi. Banyak sudah temuan-temuan mereka yang sudah disusun kedalam tulisan-tulisan, ulasan-ulasan maupun dalam buku. Selain itu nama-nama seperti Ayatrohaedi, Saleh Danasamita, John Miksic, Takashi, Atja, Wishnu Handoko, dll. Yang menambah wawasan mengenai Banten menjadi tambah luas dan terbuka dengan karya-karyanya baik dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa Inggris.
Salakanagara didirikan oleh Dewawarman yang merupakan keturunan Pallawa, Bharata (India). Ia adalah seorang duta keliling, pedagang, sekaligus perantau yang akhirnya menetap dan menikahi putri penghulu disana. Sementara tokoh awal yang berkuasa disana adalah Aki Tirem. Kota tersebut, konon merupakan kota Argyre yang disebut Ptolemeus ditahun 150, yang terletak di wilayah Teluk Lada Pandeglang. Aki Tirem sendiri merupakan seorang penghulu dan penguasa kampung setempat yang akhirnya menjadi mertua Dewawarman ketika seorang puteri Sang Aki Luhur Mulya yang bernama Dewi Pwahaci Larasati diperistri oleh Dewawarman. Hal tersebut membuat semua pengikut Dewawarman menikahi gadis setempat dan enggan pulang ke kampung halamannya.
Ketika Aki Tirem meninggal, Dewawarman menerima tongkat kekuasaan. Tahun 130 Masehi ia kemudian mendirikan sebuah kerajaan dengan nama Salakanagara, yang berarti Negeri Perak dan beribu kota di Rajatapura. Ia menjadi raja pertama dengan gelar Prabu Darmalokapala Dewawarman Aji Raksa Gapura Sagara. Beberapa kerajaan kecil di sekitarnya menjadi daerah kekuasaannya, antara lain kerajaan Agnynusa (Negara Api) yang terletak di pulau Krakatau.
Rajatapura merupakan ibu kota Salakanagara sampai tahu 362 Masehi dan menjadi pusat pemerintahan raja Dewawarman I hingga Dewawarman VIII. Kerajaan ini berdiri selama 232 tahun, tepatnya dari tahun 130 sampai tahun 362 Masehi. Sementara Dewawarman I hanya berkuasa selama 38 tahun dan digantikan anaknya yang menjadi Dewawarman II dengan gelar Prabu Digwijayakasa Dewawarman Putra. Prabu Dharmawirya tercatat sebagai Raja Dewawarman VIII atau raja terakhir Salakanagara hingga tahun 363 Masehi, dan sejak itu kerajaan ini menjadi kerajaan yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Tarumanagara yang didirikan tahun 358 Masehi oleh Maharesi dari Calankayana, India yang bernama Jayasinghawarman. Sementara pada masa kepemimpinanan Raja Dewawarman VII Salakanagara merupakan kerajaan yang makmur dan sentosa, keadaan ekonomi penduduknya sangat baik, dan kehidupan beragama sangat harmonis.
2.        Kerajaan Tarumanagara
Menurut sejarahnya, kerajaan Tarumanagara dapat diketahui melalui berbagai sumber, baik itu di dalam negeri ataupun di luar negeri. Sumber dalam negeri dapat dibedakan atas sumber yang berupa tulisan (prasasti), benda (arca), dan tradisi lisan. Sedangkan sumber luar negeri berupa berita-berita yang berasal dari negeri Cina dan India.(Ekadjati, 1984). Sekitar ada 8 buah prasasti yang memberikan keterangan tentang adanya kerajaan ini, 7 diantaranya ditemukan ditanah Sunda sendiri. Dalam catatannya Ekadjati menjelaskan ketujuh prasasti tersebut tersebar di daerah Jakarta (1 buah), Bogor (5 buah), dan Banten (1 buah). Dan sebuah prasasti peninggalan kerajaan Sriwijaya yang ditemukan di Kotakapur, Pulau Bangka. Kecuali yang ditemukan di Kotakapur prasasti tersebut ditulis dalam bahasa Malayu kuna dan huruf Pranagari juga prasasti Muara dan Pasir Awi yang belum terbaca, prasasti-prasasti lainnya (Tugu, Ciaruteun, Kebonkopi, Jambu) ditulis dengan huruf Palawa.
Dari prasasti-prasasti tersebut diperoleh keterangan bahwa kerajaan ini bernama Tarumanagara dan nama salah seorang rajanya yaitu Purnawarman. Selain itu disebutkan juga dua nama yang kemungkinan besar masih raja Tarumanagara, yaitu Rajadhiraja Guru dan Rajarsi.
Sementara menurut berita dari Cina, Tarumanagara (To-lo-mo Ho-ling, dalam bahasa Cina) merupakan penghasil cula badak, gading gajah, kulit penyu, arak yang dibuat dari mayang kelapa, mas, dan perak. Itu semua merupakan barang dagangan yang diperuntukan untuk ekspor ke luar negeri pada masa itu. Di masa tersebut di tempat-tempat penemuan prasasti didapatkan juga tembikar buatan Cina. Dalam prasasti Tugu pun tertulis bahwa pernah dikeluarkan hadiah sebanyak 1000 ekor sapi. Dengan demikian, maka mata pencaharian penduduk kerajaan ini terdiri atas usaha pertanian dengan cara berladang, perburuan, perikanan, peternakan, pertambangan, dan perdagangan.
Belum dapat dipastikan pula kapan Tarumanagara berakhir dan turun dari panggung sejarah. Tapi terlihat nyata bahwa kerajaan ini telah hidup sekitar tahun 358 Masehi dan diperkirakan pada abad ke-7 Masehi masih tetap hidup. Ibukota Tarumanagara sendiri diperkirakan terletak di daerah Sundapura atau tepi sungai antara Bekasi – Karawang sekarang.
3.        Kerajaan Sunda
Menurunnya masa kerajaan Tarumanagara menjelang akhir abad ke-7 M atau sekira tahun 669 Masehi, Tarusbawa yang berasal dari kerajaan Sunda menggantikan Linggawarman yang merupakan mertuanya sekaligus raja terakhir dari Tarumanagara. Raja Tarusbawa ingin sekali mengembalikan kembali kejayaan Tarumanagara dibawah pimpinan Purnawarman. Untuk itu raja Tarusbawa mengganti nama kerajaan Tarumanagara menjadi kerajaan Sunda pada tahun 670 M. Namun kerajaan kecil yang bernama kerajaan Galuh yang dahulunya merupakan daerah kekuasaan kerajaan Tarumanagara berniat memisahkan diri dari kekuasaan raja Tarusbawa.
Keinginan raja Wretikandayun yang saat itu memimpin kerajaan Galuh didukung oleh kerajaan Kalingga yang berada disekitar Jawa Tengah. Dukungan tersebut terjadi karena putra mahkota Galuh yaitu Mandiminyak memperisteri Parwati, puteri dari Maharani Shima dari Kalingga. Untuk menghindari perang saudara, maka raja Tarusbawa menerima tuntutan Wretikandayun, dan melepas kerajaan Galuh. Maka pada masa tersebut (670 m), kerajaan Tarumanagara terbagi menjadi dua wilayah, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh.
Sesudah itu, menurut naskah Carita Parahyangan (fragmen Kropak 406) raja Tarusbawa mendirikan ibu kota kerajaan yang baru yang terletak di dekat hulu sungai Cipakancilan. Dalam Carita Parahyangan pula raja Tarusbawa mempunyai gelar Tohaan di Sunda (Raja di Sunda). Raja Tarusbawa merupakan cikal bakal raja-raja di kerajaan Sunda dan raja Tarusbawa memerintah hingga tahun 732 M.
Namun menurut DR. Edi S. Ekadjati. sejarah Kerajaan Sunda dimulai dari tokoh Sanjaya. Dalam Carita Prahyangan, Sanjaya adalah Bratasenawa, yang merupakan raja ketiga kerajaan Galuh yang merupakan teman dekat Tarusbawa, raja Sunda saat itu. Setelah mengalahkan Rahyang Purbasora yang merebut kekuasaan dari tangan ayahnya, Sanjaya dapat menaiki tahta di Galuh. Menurut prasasti Canggal, Sanjaya memerintah sekira tahun 732 M. Berdasarkan naskah Kropak 406 dan Carita Parahyangan, Sanjaya merupakan menantu raja Tarusbawa. Ketika raja Tarusbawa wafat, Sanjaya menerima tahta atas kekuasaan Kerajaan Sunda dari mertuanya. Sanjaya sendiri bergelar Maharaja Harisdarma. Sejak saat itu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh kembali bergabung dan lebih dikenal dengan nama Kerajaan Sunda. Dalam perkembangannya Sanjaya lebih memusatkan kedudukan di Galuh.
Sepanjang sejarahnya, Kerajaan Sunda mengalami pemindahan ibu kota bekali-kali, dimulai ketika Sanjaya berkuasa ibu kota Kerajaan ini berada di daerah Galuh kemudian pada tahun 1030 M masa pemerintahan Sri Jayabhupati, ibu kota Kerajaan Sunda pindah ke Pakwan Pajajaran (sekarang Bogor). Sekira 3 abad kemudian pusat kerajaan kembali ke Galuh, tepatnya didaerah Kawali (sekitar 15 km sebelah utara Ciamis sekarang). Itu terdapat dalam sebuah prasasti yang ditemukan di Astana gede. Dalam prasasti yang dinamai Prasasti Kawali 1 ini, dikemukakan bahwa Prabu Wastukancana yang bertahta di Kawali membangun dan memperindah kembali keraton Surawisesa dan membuat parit di sekeliling ibu kota.
Prabu Niskala Wastukancana merupakan putera dari Prabu Lingga Buana (1357) yang gugur di Bubat. Prabu Lingga Buana gugur tatkala sedang mengantarkan puterinya yang akan dinikahi oleh Hayam Wuruk, raja dari Majapahit. Namun setelah gugurnya Prabu Lingga Buana, Hyang Bunisora (paman Prabu Wastukancana) menduduki tahta kerajaan sebagai wakil dari Prabu Wastukancana, karena pada saat  itu Prabu Wastukancana masih berusia 9 tahun. Kemudian pada tahun 1371 Prabu Wastukancana mulai menduduki tahta dan menjalankan pemerintahan sendiri, sebab Hyang Bunisora meninggal dunia.
Dalam Carita Parahiyangan Prabu Wastukancana menerapkan berbagai aturan, diantaranya sang rama tenang mengurus bahan pangan, sang resi tenang mengurus kependetaan (keagamaan) dan kebiasaan leluhurnya, sang disti tenang mengolah bahan obat-obatan. Raja teguh dalam menegakkan hukum, membagikan lahan hutan dan sekitarnya, supaya tidak terjadi saling menggugat antara cacah (golongan masyarakat bawah/kecil) dan pembesar. Sang tarahan tenang berlayar  dan berniaga memenuhi aturan raja. Disebutkan disini dua nama aturan raja: Sanghyang Linggawesi dan Sanghyang Watangageung. (Ekadjati, Majalah Cupumanik No. 31).
Sepeninggal prabu Wastukancana pada 1475, Kerajaan Sunda dipimpin oleh Rahyang Ningrat Kancana. Ningrat Kancana memimpin kerajaan hanya dalam kurun waktu 7 tahun (hingga tahun 1482), karena salah dalam bertindak dan jatuh cinta kepada wanita terlarang dari luar.
Selanjutnya kerajaan Sunda diteruskan oleh Prabu Siliwangi --raja yang dikenal oleh orang Sunda saat ini--  atau bernama Prabu Sri Baduga Maharaja atau Prabu Ratu Jayadewata, yang merupakan putera Tohaan di Galuh. Dalam prasasti Batutulis, Prabu Jayadewata ialah raja Pakwan Pajajaran yang memariti ibu kota Pakwan. Selain itu Prabu Jayadewata sebelumnya telah melakukan pemindahan ibu kota dari Kawali ke Pakwan Pajajaran. Di Pakwan, Prabu Jayadewata menempati keraton yang dinamai Sri Bima Untarayana Madura Suradipati.
Selain memprioritaskan tradisi masyarakatnya dalam hal bercocok tanam, pemindahan ibukota yang dilakukan oleh Prabu Jayadewata dimaksudkan juga untuk mengembangkan perniagaan. Menurut DR. Edi S. Ekadjati, perniagaan di kerajaan Sunda saat itu maju cukup pesat dengan beberapa kota pelabuhan diantaranya; Banten, Pontang, Cikande, Tangerang, Sunda Kelapa, Karawang, Cirebon, Japura, dan Cimanuk. Lahan pertanian yang paling luas adalah berupa huma (ladang) yang menghasilkan beras yang sangat melimpah sehingga kebutuhan rakyat dalam negeri terpenuhi, sementara sisanya dapat diekspor ke luar negeri. Selain itu, perkebunan merica juga terbilang luas di sejumlah hutan wilayah kerajaan. Hasilnya ada yang dijual hingga ke Eropa dan Arab. Adapun daripada itu, kerajaan Sunda menghasilkan gula aren, asam, sayur-mayur, emas, kayu, terasi, dan bermacam-macam bahan makanan lainnya. Ada juga dari mancanegara kerajaan Sunda mendatangkan pakaian dari sutera, perhiasan, garam, gerabah, dan lain sebagainya.
Dalam Carita Parahyangan digambarkan bahwa Prabu Jayadewata menjalankan pemerinyahannya berdasarkan kitab-kitab hukum yang berlaku, sehingga terciptalah kerajaan yang tata tentrem kerta raharja (aman dan sentosa). Berdasarkan prasasti Batutulis, Sri Baduga Maharaja merupakan raja Sunda yang memiliki banyak jasa, diantaranya; membuat tanda peringatan gugunungan, jalan, hutan larangan, telaga (Sanghyang Talaga) Rena Mahawijaya. Sri Baduga Maharaja (Prabu Jayadewata) memimpin kerajaan Sunda selama 39 tahun (hingga tahun 1521). Dalam pemerintahan Prabu Jayadewata pula agama Islam mulai datang melalui jalur perniagaan yang dibawa oleh saudagar-saudagar muslim.
Orang Portugis bernama Tome Pires yang menyusuri pesisir utara pulau Jawa pada 1513, menyaksikan adanya penduduk di kota pelabuhan Cimanuk (batas timur kerajaan Sunda) yang sudah memeluk agama Islam. Adapun masyarakat Sunda yang sudah beralih agama digambarkan pula dalam Carita Parahyangan. Pada saat itu masyarakat yang merasa tidak aman, dikarenakan mereka melanggar  Sanghyang Siksa.
Walaupun pengaruh Islam belum sampai ke pusat kerajaan, tetapi Prabu Jayadewata sudah bersiap untuk menghadapinya. Raja mulai merintis hubungan diplomasi dengan Portugis yang berkedudukan di Malaka. Dengan didahului oleh utusan dari kerajaan ke Malaka pada 1512, kemudian pada tahun 1522 di Pakwan terjadi kesepakatan antara keduanya yang menyepakati kerjasama dalam bidang keamanan dan bidang ekonomi. Pada waktu itu Prabu Jayadewata telah digantikan oleh puteranya yaitu Prabu Surawisesa (1521-1535).
Namun usaha-usaha raja Sunda tersebut tidak dapat menolong negaranya, karena keadaan tidak sesuai yang diharapkan. Pengaruh Islam semakin kuat, terlebih setelah Banten dan Sunda Kelapa dapat diduduki oleh pasukan Islam dari Cirebon dan Demak pada 1526 dan 1527. Sejak saat itu jalur perdagangan yang dikuasai kerajaan Sunda praktis terputus. Keadaan tersebut mengakibatkan pusat kerajaan menjadi terisolir dan tidak bisa lagi berhubungan dengan dunia luar. Terlebih pada tahun 1527, pasukan Portugis yang datang ke pelabuhan Sunda Kelapa berhasil di pukul mundur oleh armada Islam.

Desakkan pihak luar terus menekan pihak kerajaan, begitupun tekanan dari dalam negeri mulai bermunculan. Raja-raja Sunda selanjutnya tidak memiliki pribadi yang kuat, sikap mementingkan diri sendiri, dan hampir tidak memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Prabu Ratudewata (1535-1543) memilih menjadi raja pendeta daripada menghadapi kekacauan dalam negeri. Sang Ratu Saksi (1543-1551) memiliki sikap yang kejam dan berperangai rendah. Ia sering membunuh  orang tak berdosa, merampas harta orang seenaknya, tidak mengormati generasi tua, menghina kaum pendeta, dan sering main perempuan. Penggantinya, Tohaan di Majaya (1551-1567), ia lebih suka mempeindah keraton, mabuk-mabukan, dan berfoya-foya daripada menjalankan tugas sebagai raja. Karena itu pada tahun 1579, pasukan Banten melancarkan serangan ke ibukota raja Sunda terakhir yaitu Nusiya Mulya tidak berdaya menahan serangan tersebut. Hingga akhirnya kerajaan Sunda jatuh dan dikuasai Islam.

06 April 2015

THE SUNDANESE


The name " Sunda " is used to refer the people who speak a language typical to this people. The language is also called " Sunda" and the land is called Pasundan or Tatar Sunda. Geographically Sunda speaking people inhabit the west part of java island which is bordered by the river of Cilosari and Citanduy from the rest of Java island. Outside west Java are found people speaking Sunda such as on the city of Cirebon, closer to Central Java. City such as Jakarta although it is located on the land of Sunda, but their people speak Malay - Jakarta. It is due to the historical formation of the city by mixed ethnics from all over Indonesia. The fact that Jakarta around 13th century was one of the Pasundan important port for the kingdom of Pasundan named Pajajaran. While some towns on north coast including Banten many people speak Javanese. The use of Sundanese among the people is strong, daily life, school, lectures, and even among offices.

It is known fine Sundanese language which is considered original such as it is spoken in Ciamis, Tasik Malaya, Garut, Bandung, Sumedang, Sukabumi, and Cianjur. Dialect spoken by people living in Cianjur is considered the most refine and polite Sundanese. While Sundanese spoken on north coast, Banten and Cirebon is considered less polite. While the language spoken by the people of Baduy is considered old type of Sundanese.

Sundanese introduces poetry and prose, especially poetry is read and sang during a family having maternity. The poet is called "Beluk" both poet and prose have the theme taken from Hindu epic of Mahabharata and Ramayana, the ancestor heroes of Sunda such as king Siliwangi, the story of Munding Laya di Kusumah, Nyi Phanji Sanghyang Sri, and chronicle of Cirebon. Fold tale of mountain formation such as Mount Tangkuban Perahu as an oedipus story about Sangkuriang is widely known and spoken among Sundanese. Well known show is wayang golek ( marionettes ), in contrast with wayang puppet shadow play in Java and Bali. The influence of Islam on Sunda land was coming from Cirebon during the end of Pajajaran kingdom, known as the fall of Hindu kingdom on Pasundan following the fall of Great Hindu kingdom of Majapahit around 1400. According to Prof. Harsojo the common identity of Sundanese besides their language are their great care and appreciation of their art, optimistic, cheerful, but to sensitive emotionally.

The biggest problem of west Java is big number of birth rates, since 1930s Dutch colony recorded the number of population of around 20 millions and what is the fact of today, it is more then 40 millions. It is typical for all Java island including the island of Madura that a family can have more then 6 children. Even among religious figures ( uztads ) not uncommon of the opinion that human being must give birth and marry women, and having children is order of Allah, and having more then 2 wives is god way. It is not rare among uztads to have more then 20 children more then 10 wives. That's why more then a half of total Indonesian population is on Java. The biggest birth rates in Indonesia outside Java are in South Sulawesi, Banjar south Borneo, and Lombok which are all majority Moslem.

Settlement pattern of Sundanese is almost the same with other parts of Indonesian ethnic groups, that the smallest unit of settlement has its own organization with relation to government and social function of their tradition. This smallest unit of settlement is called Desa, a word not strange every where in Indonesia, yet having slight different in organization structure and dividing the tasks. A Desa in west Java as a unit of administration for its people, tradition land and other affairs have almost the same pattern in general, only the title of the functionaries found to differ. The head of the Desa is elected democratically. The head is assisted by secretary in charge for office works, 3 kokolots functionaries given the assignment of delivering orders, reports, complaints, etc, just like a communicator between the head and the people, an Ulu-ulu given the assignment of taking care of water and schools, an Amil given an assignment of taking care of birth, death, divorce, restoring marriage, heading religious praying, mosque, and cemetery. A Kulisi in charge for security in general.

As late as 1965 government of west Java recorded around 3.881 units of Desa, each Desa had varied number of population from 3.000 to 4.000 persons whose members are known each other. Since modernization of Indonesia reaching also villages on west Java changes on the structure of relation among peoples basically started after world war II. New relation is based on economic or business orientation has been making the old tradition under abrasion, and for certainty if government do not see the direction of this social relation in complete aspect it might cause a direction that do not support the advancement of the people which at last influence national development.

Until today west Java still have Desas that preserve their old tradition such as the Baduy and Dukuh. The Baduy still preserves pre-Hindu tradition, while Dukuh although already follow Islam, but older tradition is still preserved such as taking care of trees, sacred places, etc. This Desa is isolated, located on the high mountain slope on the southern part of Kabupaten Garut. This is few good example of tradition which in fact modern science proves to be ideal to keep sustainability of the natural resources.

West Java has been splitted into 3 provinces, one is Jakarta which is from 17th century has shown development to metropolitan city and meeting place for whole ethnics of Indonesia, while today Banten province on the west tip of Java island splitted around 2002 into independence province in the spirit of creating job for executives and legislatives members. Basically now west Java has big cities as centers of trade and production such as Bandung, Bogor, and Cirebon. The source of economy is still traditional based on farming but not in big scale. Processed products limited only in big cities such as in Bandung known for fabric production, semi-machine products such as foot wares, and military arms. The heritages form Dutch colony such as tea plantation is still alive until today which is famous around Puncak and Dago highland. People staying on the beach live from fishing and fish trade which is not on big scale to. System of land ownership in west Java consist of privately owned and public ownership. Public ownership what is called titisara or kanomeran or kacahcahan land. This type of land was given to the people who was considered having good service to the Desa, then the head of the Desa gave them the land on the basis of use, but can not sell or change of ownership. Other public owned land is those who in in the public service for the Desa then given also land for their return of service.

Social system on west Java actually not much difference from other parts of Indonesia such as marriage tradition, kinship and after marriage status. The problem is like other undeveloped Muslim countries a man can practice polygamy, while economically and knowledgeably un supporting which has been creating poverty among the people. The biggest problem for national pace of economic development and social welfare. This situation is not only on west Java or Java island in general but other Muslim society such as on South Sulawesi, Banjar and Lombok island. Their kinship system is almost the same as other ethnic groups of Indonesia, they introduce terminologies of kinship up to 7 generations up and 7 generations down, and introduce relation among close relatives called "golongan" among which the awareness of genealogical relationship is still exist and reciprocal assistance available among them. Actually every new married couple will live on a new house, but due to the high birth rates and the practice of poly gamy it is not rare that a house live more then one families, so make the situation is not comfortable especially for women.

The Sundanese as other ethnic of Indonesia is still live with religion as the most important spiritual need, where Islam id 98% as the main belief, although it seems that some people with their extend of knowledge has reached real spiritual development who could bring the advancement of economy, politic or shortly the local culture.

*Ethnologue : "Austronesian, Malayo-Polynesian, Malayo-Sumbawan, Sundanese"

03 April 2015

Bahasa Sunda Dalam Era Globalisasi

Bahasa Sunda merupakan salah satu alat komunikasi masyarakat yang disebut urang Sunda. Selain itu, menurut Ajip Rosidi, bahasa Sunda adalah salah satu bahasa daerah Indonesia, yang telah dipergunakan sejak berabad-abad dan termasuk kedalam keluarga bahasa Austronesia. Dalam jenisnya, bahasa Sunda saat ini memiliki empat macam bahasa yaitu; pertama basa budak (bahasa khusus yang digunakan oleh kanak-kanak atau bahasa yang digunakan oleh orang tua kepada anak-anak dan termasuk juga kedalam basa lemes), kedua basa cohag/loma (yaitu bahasa yang biasa digunakan dalam pergaulan yang akrab), ketiga basa kasar (bahasa yang menurut undak-usuk basa Sunda, memakai bahasa yang tergolong kasar atau tidak sopan), dan yang terakhir basa lemes (bahasa yang dipergunakan kepada orang yang lebih tua atau dihormati, orang yang baru dikenal, dan orang yang lebih tinggi kedudukannya).
   Namun pada kenyaatannya saat ini kelestarian bahasa Sunda mulai terpinggirkan secara perlahan-perlahan. Seiring dengan didikan orang tua (yang sebenarnya orang Sunda dan menetap di lingkungan sosial-budaya Sunda) masa kini yang lebih mengajarkan anak-anaknya bertutur bahasa Indonesia atau bahkan bahasa asing (bahasa Inggris) dalam kesehariannya. Berbagai alasan pun terlontar kenapa mereka tidak mau mengajarkan ‘bahasa ibu’ kepada anaknya. Salah satunya ialah mereka tidak ingin anaknya bertutur kata dengan menggunakan bahasa Sunda yang terbilang kasar. Wajar memang jika para orang tua merasa khawatir akan hal seperti itu atau dengan alasan lainnya. Tetapi jika dengan didikan yang benar dan telaten dari orang tuanya mungkin anak-anak dapat terhindar dari alasan kecemasan itu.
   Setidaknya anak-anak dapat mengenal bahasa ibunya sedari dini, pun pelestarian bahasa Sunda dapat terjaga hingga generasi berikutnya. Terkadang saya pun sebagai orang Sunda merasa khawatir kepada nasib bahasa Sunda di masa yang akan datang. Saat ini pun penutur bahasa Sunda di lingkungan pergaulan nonoman Sunda, khususnya daerah perkotaan, mulai berkurang. Padahal mereka sama-sama lahir dan dibesarkan dalam lingkungan masyarakat Sunda, tetapi mereka seakan tidak mengetahui bahasa daerahnya. Gengsi akan hedonisme dan bahasa pergaulan sepertinya sulit dihilangkan dari mereka. Memang para pejabat daerah setempat saat ini sudah kembali mengapreasiasi kebudayan daerah yang ada di Jawa Barat, yang sebagian besar dihuni oleh suku Sunda, seperti dengan adanya Rebo Nyunda diberbagai Kota/Kabupaten di Jawa Barat, salah satunya di Kota Bandung. Namun pada kenyataan dilapangan, penutur bahasa di Kota Bandung (khususnya para mahasiswa, remaja dan anak-anak –yang berasal dari daerah Jawa Barat-) kebanyakan masih sedikit berbicara kepada sesamanya dengan menggunakan bahasa Sunda.
   Memang kemampuan dalam berbahasa Indonesia yang baik sangat diperlukan, karena merupakan kewajiban kita sebagai warga negara Indonesia. Begitu pun dengan kemampuan berbahasa asing (bahasa Inggris khususnya) untuk menghadapi zaman yang global ini dirasa perlu pula. Akan tetapi tidak seharusnya kita melupakan bahasa ibu kita, yaitu bahasa Sunda. Jadi, tidak ada salahnya kita kembali menggunakan bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari, termasuk orang tua yang seharusnya mengajarkan anak-anaknya pada bahasa Sunda yang baik dan benar. Agar bahasa Sunda dapat tetap hidup hingga generasi mendatang dan seterusnya.

Sesebutan Usum-Usuman

Usum mamaréng = usum mimiti rék ngijih. Usum ngijih = usum hujan, ngecrek saban poé. Usum dangdarat = usum panyelang antara usum hujan je...