29 January 2015

Kontribusi Filsafat Dalam Kajian Islam


Memasuki ruang filsafat, sama peliknya dengan memasuki jiwa manusia yang diliputi misteri, karena adanya beberapa hal dan peristiwa yang menyelimutinya. Dalam kajian ini, saya sebagai penulis ingin mengungkapkan argumen saya dari sebuah pertanyaan, “apakah filsafat dapat memberikan kontribusi dalam kajian ke-islam-an?”. Sebelum memberikan argumentasi tersebut, mungkin ada baiknya saya memberikan pemahaman yang saya miliki tentang pengertian dan kajian dasar ilmu filsafat.


Dari yang pemahaman yang saya dapatkan, secara bahasa kata filsafat berasal dari dua suku kata berbahasa Yunani, yaitu philos dan sophia. Philos dapat diartikan sebagai kesenangan atau kecintaan atau kegemaran. Sementara shopia dapat diartikan sebagai kebijaksanaan. Jadi, menurut bahasa filsafat dapat diartikan sebagai kecintaan terhadap kebijaksanaan. Adapun menurut pemhaman saya tentang filsafat ialah suatu sikap dan pemikiran seseorang yang mendalam, sadar, dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam sehingga sampai kepada inti persoalan terhadap hal yang disikapinya.


Sementara itu kata lain filsafat adalah hakikat dan hikmah, dengan sebuah pertanyaan yang sering saya dengar dari orang lain dalam menyikapi suatu hal (kejadian) yang dialaminya, “Apa hikmah dari semua ini?”. Secara tidak langsung dengan pertanyaan tersebut berarti si penanya sedang mencari latar belakang terdalam satu kejadian dengan kajian yang bersifat filsafat, yaitu dengan pengantar kata “apa” yang menunjukan kajian ontologi dari filsafat. Selain kata “apa” sebagai pengantar ontologi filsafat, adapun kajian epistemologi (bagaimana), dan aksiologi (mengapa).


Hakikat dan hikmah sendiri merupakan dua nama Al-Qur’an disamping Al-Furqon (pembeda), dan dengan demikian kitab suci umat Islam ini dapat diartikan pula sebagai filsafat. Oleh karena itu umat Islam yang menolak filsafat secara tidak langsung menolak Al-Qur’an itu sendiri yang mengkaji kehidupan secara mendalam, bukan sebuah paksaan atau dogma, dan secara mendalam membahasakan logika atau ilmu, etika atau moral, dan estetika atau seni yang berperan sebagai objek formal dari filsafat. Dari argumentasi tersebut, mungkin sudah ada sedikit gambaran yang menunjukan kontribusi filsafat terhadap agama Islam.


Namun dari rujukan diatas saya rasa belum cukup untuk mengemukakan argumentasi dari pernyataan tentang kontribusi filsafat dalam kajian ke-Islam-an tersebut. Beberapa pemikiran filsuf Yunani dan filsuf Islam mungkin akan membuka sedikit penjelasan tentang kontribusi kajian filsafat, khususnya dalam kehidupan Islam.

Para Filsuf Yunani


1.       PLATO

Dalam keseimbangan logika dan estetika, ungkapan Plato dirasa lebih tepat. Plato pernah mengungkapkan, bahwa kesengsaraan dunia tidak akan berakhir sebelum filsuf menjadi raja, atau raja-raja menjadi filsuf (Inu kencana Syafi’i, 2004). Dalam hal ini titik temu dari keseimbangan tersebut itulah yang menjadi kajian kajian saya.
Sehingga Plato membagi tiga golongan struktur sosial masyarakat yaitu; kelompok filsuf (pengkaji kebijaksanaan dan kebaikan dalam kehidupan sosial masyarakat), kelompok prajurit (senantiasa memikirkan kebeneran dan bertugas mengawasi dan menjaga keamanan), dan kelompok masyarakat jelata (sebagai penopang ekonomi rakyat dalam kehidupan sosial masyarakat). Dari sini sedikit tergambar bahwa Plato ingin menyeimbangkan sebuah struktur kehidupan sosial dengan menyeimbangkan logika, etika, dan estetika. Dan plato sendiri adalah seorang pencari Tuhan dalam hidupnya, sehingga paradigma pemikirannya menjadi paradigma teokratis dan dikolaborasi dengan rasionalistis. Itu semua sejalan dengan Nabi Muhammad SAW, yang menyeimbangkan logika, etika, dan estetika dalam kajian tatanan ke-Islam-an.


2.       Aristoteles

Aristoteles adalah seorang filsuf yang berusaha memisahkan antara kerohanian (dalam hal ini agama) dan keduniawian (sekuler). Tuhan baginya muncul karena intelektual manusia belaka, bila alam semesta berawal dari Tuhan, maka awalnya dapat diusut dengan mengetahui Tuhan itu sendiri. Dalam hal tersebut Nabi Muhammad SAW hadir sebagai pembawa tauhid Islam. Sehingga pengetahuan manusia tentang Tuhan hadir dalam bentuk ilmu tauhid khususnya, dan dari ilmu tersebut berkembanglah ilmu fiqih, dan tasawuf Islam dari pengembangan para ahli tafsir Al-Qur’an dan Hadits. Dan pemisahan antara sekuler dan agama menjadi sangat kentara dalam dunia Islam, sehingga lahirlah ilmu tasawuf dalam agama Islam.


PARA FILSUF ISLAM

1.      Al-Kindi

      Al-Kindi merupakan filsuf Islam pertama. Mengenai filsafat beliau berpendapat bahwa agama dan filsafat tidak ada pertentangan. Ilmu tauhid merupakan cabang termulia dari filsafat. Filsafat membahas kebenaran dan hakikat, dan hakikat pertama itu ialah Tuhan. Al-Kindi mengulas teori tentang teori keadilan Tuhan, dan berpendapat bahwa semua perbuatan Tuhan tidak mengandung unsur dzalim. Al-Kindi juga membahas jiwa dan akal. Jiwa manusia mempunyai tiga daya yaitu nafsu yang terpusat di perut, berahi yang terpusat di dada, dan daya berfikir yang terpusat  di kepala. Daya berfikir inilah yang disebut akal. Dalam pemikiran filosofisnya, beliau banyak dipengaruhi oleh Aristoteles, Plato, dan Neo-Platonisme (Muhammad Alfian, 2012).


2.       Al-Farabi

Al-Farabi memfokuskan diri pada kebahagiaan. Menurutnya, kebahagiaan merupakan tujuan tertinggi dari dambaan setiap manusia. Kebahagiaan yang merupakan tujuan tertinggi manusia hanya bisa diraih dengan perbuatan terpuji melalui kehandak dan pemahaman yang didasarkan pada niat yang suci. Disini dapat dijelaskan bahwa manusia bisa berbuat baik jika berkehendak. Dari pendapat tersebut pula, manusia harus berkonsentrasi untuk menjalankan amal iradi (kehendak). Untuk itu dalam argumentasi Al-Farabi itu kita dapat membedakan iradi dan ikhtiar. Dalam pendapat tersebut bahwa iradah lahir dari oleh keinginan yang dibangkitkan oleh rasa dan imajinasi, sementara ikhtiar semata-mata lahir oleh pemikiran dan analisa.


Oleh karena itu, manusia bebas untuk mewujudkan segala sesuatu yang dikehendakinya dan diperbuatnya. Akan tetapi, kebebasan ini harus tunduk pada hukum-hukum alam, masing-masing diberi fasilitas sesuai dengan kejadiannya, dan setiap yang ada ini terjadi atas qada dan qadar Tuhan.


3.      Imam Al-Ghazali

Pada dasarnya Imam Ghazali menolak para filsuf memikirkan tentang Alloh dan kejadian alam ini secara akal, itulah sebabnya beliau menulis kitab Tahafut Al-Falasifah (Kesalahan Filsafat) karena beliau tidak menyukai pemikiran filsuf barat  dan filsuf Islam yang mengingkari  kebesaran Alloh Sang Maha Pencipta, jadi beliau semula menolak eksistensialisme.


Sebagai seorang yang mendalami ilmu fiqih beliau mengecam para filsuf yang meremehkan upacara religi (ibadah dalam hal ini), karena bagi beliau upacara ibadah adalah kewajiban untuk mencapai kesempurnaan, bahkan lebih jauh daripada itu  bagi beliau upacara keagamaan tidak hanya cukup dengan mengerjakan secara lahiriah, beliau bahkan berhasil membuka tabir rahasia sholat, puasa, haji, dan lain sebagainya.


Namun sebagai pengkaji Al-Qur’an dan mempunyai pikiran rasional beliau kemudian kembali menggunakan akal dalam membahas arti hidup, hikmah Al-Qur’an serta hakikat kenabian sehingga Imam Ghazali dianggap berhasil membela kemurnian agam Islam. Jadi pikiran para filsuf yang selama ini cukup membingungkan dalam mengkaji Tuhan, beliau uraikan dengan filsafat Islam itu sendiri. Sebaliknya dalam kesempatan lain serangan dari para mistik Islam yang sebenarnya membahayakan aqidah, beliau berikan tuntunan yang sesuai dengan syariat dan fiqih Islam, itulah sebabnya beliau diberi gelar Hujatul Muslim (Tempat Umat Islam Berargumentasi).


4.      Ibnu Rusyd

Ibnu Rusyd banyak memusatkan perhatian pada filsafat Aristoteles, dan menulis ringkasan serta tafsiran yang mencakup sebagian besar karangan filsuf Yunani. Dalam bidang filsafat, Ibnu Rusyd menulis kitab Tahafut At-tahafut (Kesalahan Buku yang Salah). Sebagai jawaban atas kitab Tahafut Al-Falasifah karangan Imam Ghazali. Namun saya rasa Ibnu Rusyd tidak menyalahkan Imam Ghazali dalam kitabnya tersebut, hanya saja Ibnu Rusyd ingin meluruskan bahwa sebagai umat Islam jangan pernah menolak dan menerima mentah-mentah seluruhnya filsafat Yunani.


Sebagai seorang yang berfikir rasional Ibnu Rusyd menafsirkan agama dengan akal, sama seperti Imam Ghazali yang mebahas arti hidup dengan menggunakan akal, namun bukan berarti harus meninggalkan agama Islam. Lagi pula ratusan dari ayat Al-Qur’an membahas tentang akal, filsafat, dan kewajiban berfikir.


Dari beberapa argumentasi tersebut dapat disimpulkan bahwa, jika sekarang ini orang mencoba memikirkan dengan akal mengapa umat Islam mengizinkan perang, mengapa umat Islam memperbolehkan laki-laki beristri lebih dari satu, mengapa umat Islam berwudhu kembali setelah buang angin, mengapa umat Islam membedakan wanita dengan laki-laki dalam hal menjadi saksi, tetapi dalam hal yang lain posisinya seimbang? Maka jawabannya sangat diterima akal, karena umat Islam memerlukan perang terhadap kedzaliman, umat Islam menginginkan pertanggungjawaban terhadap jumlah besarnya jumlah wanita secara hukum bukan untuk menyia-nyiaknnya, umat Islam sedang menghormati keberadaan transendentalnya sholat, kecuali kalau mengeluarkan kotoran mengenai kotoran lalu mengajarkan cara mencucinya, umat Islam melakukan studi khusus wanita tentang emosi yang dimilikinya. Jadi, dalam hal ini filsafat mempunyai kontribusi terhadap kajian Islam, termasuk Imam Ghazali sendiri yang pada awalnya menolak filsafat barat dan berfilsafat dengan cara sendiri agar tercipta kemurnian ajaran agama Islam.

Karakter dari Kepribadian Individu Orang Sunda

Sebagai salah satu suku bangsa terbesar di Indonesia, Sunda memiliki norma kearifan lokal dari budayanya. Beberapa filosofi dari nenek moyang masyarakat Sunda, mempunyai nilai dan tafsiran yang sangat berpengaruh dalam kehidupan urang Sunda itu sendiri, baik itu dengan alam, ataupun dengan masyarakatnya. Namun seiring berjalannya waktu, pengaruh dari berbagai kebudayaan  yang masuk ke Indonesia, khususnya Sunda, seperti memaksa kita melupakan berbagai filosofi asli urang Sunda.

 

Urang Sunda pun seakan lupa akan asal-usul mereka. Bahkan bagi mereka yang mempunyai “darah” Sunda dan tinggal ditatar Sunda (sebagian besar daerah Jawa Barat khususnya), sudah tidak mengetahui bagaimana cara bermasyarakat layaknya filosofi karuhun (nenek moyang) mereka.

 

Memang ada peribahasa Sunda yang mengatakan “kudu ngindung ka waktu, mibapa ka jaman.” yang bermakna, hidup harus dapat menyesuaikan dengan zaman yang ada. Tetapi tidak perlu juga melupakan kearifan dan nilai-nilai kebudayaan yang sudah ada sejak zaman nenek moyang.

 

Mereka membangun kebudayaan untuk hidup dalam kehidupan bermasyarakatnya. Interaksi dan integrasi sosial dibangun agar dapat menghidupkan sosialisasi lingkungannya. Atas dasar itulah urang Sunda memiliki rasa saling menghargai satu sama lain. Seperti dalam peribahasanya, “pamali gelut jeung dulur, pamali bengkah jeung baraya.” yang berarti tidak boleh saling menyudutkan atau setiap manusia harus bisa saling menghormati dan menghargai sesamanya.

 

Adapun dalam sifatnya, urang Sunda memiliki sifat alamiah pendamai dan cenderung menghindari kekerasan, namun dapat terbuka kepada setiap orang. Urang Sunda pun terkenal dengan banyolan-banyolannya yang khas, dan biasanya sering diselipkan dalam setiap pembicaraan mereka, baik itu dalam pembicaraan yang bersifat formal ataupun informal.

 

Dalam gambaran pribadinya, pribadi urang Sunda merupakan individu-individu yang tenang, dingin, dan terkadang memiliki sifat rasa malu. Namun inilah yang membuat mereka hampir-hampir tidak terlihat gelisah dan selalu terlihat ceria. Dibalik pribadi yang dingin dan malu-malu, sebagian besar dari mereka memiliki kepekaan agar bisa merasakan emosi yang terkandung pada sesuatu.

 

Selain itu urang Sunda cenderung bersikap menarik diri dari segala macam keterlibatan. Mungkin karena memiliki sifat pendamai tersebut sehingga mereka lebih sering memilih bersikap seperti itu. Itu dapat terlihat dari  dari struktur pemerintahan nasional, bahwa urang Sunda tidak pernah mendominasi struktur politik pemerintahan tingkat nasional. Karena pada dasarnya urang Sunda lebih senang menempati lembur (daerah tempat tinggal) –nya dan melestarikan segala yang ada didalamnya.

 

 

nb: Namun dari pernyataan-pernyataan diatas, tidak semua urang Sunda memiliki sifat-sifat yang diterangkan. Itu semua hanya pendapat dari saya sebagai urang Sunda yang secara tidak langsung melihat sikap dari kebanyakan urang Sunda yang pernah atau sering saya temui dalam kehidupan sehari-hari saja. Selebihnya tergantung penilaian dari para pembaca sekalian yang lebih ahli dan mengerti tentang pribadi, karakter, dan sifat yang dimiliki urang Sunda sendiri. Karena mungkin setiap manusia baik itu dari suku Sunda atau yang lainnya mempunyai karakter seperti yang telah disebutkan diatas. Jadi, pernyataan-pernyataan tersebut tidak mutlak harus dijadikan acuan untuk menilai karakter pribadi dan sifat suatu suku bangsa, khususnya suku Sunda.


Sesebutan Usum-Usuman

Usum mamaréng = usum mimiti rék ngijih. Usum ngijih = usum hujan, ngecrek saban poé. Usum dangdarat = usum panyelang antara usum hujan je...