10 March 2015

Cerita Sangkuriang Diantara Tatar Sunda Prasejarah, Falsafah Sunda, dan Simbol Manusia Masa Kini


Sangkuriang merupakan tokoh dalam cerita mitologi Sunda. Cerita Sangkuriang sangat dikenal di wilayah Bandung, Ciamis, Sumedang, dan Kuningan. Kisahnya sering disebut Cerita Sangkuriang atau Sasakala (asal-usul) Gunung Tangkuban Parahu atau Sangkuriang – Dayang Sumbi. Cerita ini berhubungan dengan asal-usul Gunung Tangkuban Parahu, Bukit Tunggul, Gunung Burangrang, Gunung Manglayang dan Danau Bandung Purba. Isi cerita ini berkisah tentang kehidupan manusia, antara seorang ibu dan anaknya sendiri, yaitu Dayang Sumbi dan Sangkuriang yang hampir-hampir mereka menikah.


Menurut M A. Salmun, Sangkuriang disebut juga Sang Guriang. Sang Guriang berarti makhluk “jahat” keturunan dewa (Utuy T. Sontani, 1953). Kata “jahat” disini diambil berdasarkan cerita asal yaitu dalam silsilahnya Sangkuriang merupakan keturunan anjing dan babi hutan, kemudian setelah dewasa ia bersikeras untuk mengawini ibunya, Dayang Sumbi, meski dengan beberapa syarat yang diberikan oleh ibunya yaitu dengan membuat situ (danau) dan sebuah perahu dalam waktu semalam.

Cerita ini mengisahkan pula bahwa pada zaman dahulu kehidupan manusia bercampur dengan kehidupan hewan (jejadian). Sangkuriang terlahir dari ibunya yang berwujud manusia (Dayang Sumbi) dan ayahnya yang berwujud anjing (Tumang). Demikian pula, Dayang Sumbi lahir dari ibunya yang berupa babi hutan (Celeng Wayungyang) akibat babi hutan itu meminum air seni raja (Sungging Perbangka) yang ada dalam tempurung kelapa.


Dalam cerita ini makhluk dan kekuatan gaib saling bercampur satu sama lain. Anak diusir ibunya karena membunuh ayahnya. Kemudian setelah sekian lama akhirnya anak dan ibu kembali bertemu dan saling mencintai, bahkan ingin membangun rumah tangga  yang diikat dalam hubungan pernikahan. Namun, ibunya menemukan ciri bahwa sesungguhnya sang pujaan hati itu anaknya sendiri. Akhirnya pernikahan tak terlaksana walaupun Sangkuriang berusaha sekuat tenaga hingga menggunakan cara yang tak lazim untuk memenuhi persyaratan yang tak lazim pula yang diberikan ibunya.


Karena itulah di tempat-tempat terkait dengan folklor tersebut, misalnya di daerah pegunungan Bandung, ditemukan berbagai barang budaya peninggalan para leluhur, perkakas yang dibuat dari batu seperti kampak, mata panah, mata tombak, gelang, dan sebagainya.


Zaman Prasejarah di Tatar Sunda


Menurut Ekadjati, ada petunjuk bahwa berbagai perkakas itu dahulu digunakan untuk mencari ikan dan berburu binatang liar oleh masyarakat di sekitar Danau Bandung Purba, puluhan hingga ratusan ribu tahun silam (zaman prasejarah). Dari pendapat tersebut, jelas bahwa kehidupan manusia di pinggiran badan-badan air (danau, sungai, mata air) merupakan tanda tersendiri sebagai tempat kehidupan manusia zaman prasejarah di Tatar Sunda.


Para arkeolog pun telah menemukan jejak dan bekas-bekas itu nampak pula di tepi telaga Cangkuang, Leles (Garut) kemudian di tepi Sungai Ciampea dan Cisadane (Bogor sebelah barat), sekitar tepi sungai Ciliwung, Pondok Kelapa (Jakarta), sekeliling mata air Cigugur, Cipari (Kuningan), di tepi sungai Cijolang, Tambaksari (Ciamis), dan sepanjang pesisir utara Laut Jawa (mulai dari Tangerang hingga Karawang).


Diantara situs-situs prasejarah tersebut, yang paling tua usianya ialah situs Dataran Tinggi Bandung. Situs itu diperkirakan berasal dari zaman Mezolitikum atau sekitar 10.000-4000 tahun SM. Dalam beberapa tahun yang lalu, ditemukannya data baru yang cukup penting. Dengan ditemukannya fosil gigi manusia dari situs Tambaksari Ciamis. Ada pula yang menemukan fosil bagian anggota tubuh manusia dari Gua Pawon, di Desa Gunung Masigit, Padalarang, Kabupaten Bandung Barat. Dari data-data tersebut membuka gambaran kehidupan budaya zaman prasejarah di Tatar Sunda.


Adapun situs yang ditemukan di Klapadua dan sekitar Lembah Leles diperkirakan berasal dari zaman Neolitikum atau sekitar 4000-2500 tahun SM. Kemudian ditemukan pula situs di daerah Pasir Angin, Bogor yang berdasarkan analisa kimawi C. 14 pada arang hasil temuan setempat di labulatorium Australian National University (sekitar tahun 1970.) telah hidup masyarakat dengan kebudayaan megalitis selama kurang lebih 2000 tahun, masing-masing antara 1000 tahun sebelum masehi hingga 1000 tahun sesudah masehi.


Dilihat dari sudut pandang teknologi pada masa itu, ada tiga macam perkakas dari batu. Pertama, perkakas kasar, sebab cara pengerjaannya hanya dengan dipukul-pukul atau dibenturkan dengan batu lainnya, itu terjadi pada zaman Paleolitikum. Kedua, perkakas yang sudah agak halus dan tajam, pengerjaannya sebagian diasah (Mezolitikum). Ketiga pada zaman Neolitikum, dimana perkakas yang benar-benar halus dan tajam, karena dalam proses pembuatannya semua bagian diasah.


Sementara pada masa Neolitikum, masyarakat di Tatar Sunda diperkirakan menganut kepercayaan yang disebut animisme dan dinamisme. (Ekadjati, 1980). Animisme yaitu suatu kepercayaan yang memuja makhluk-makhluk gaib dan arwah nenek moyang melalui satu benda atau sekumpulan benda, terutama benda-benda yang terbuat dari batu dengan ukuran besar (megalitis) seperti dolmen, menhir, punden berundak, dan lain sebagainya.


Dari paparan tersebut faham animisme yang dianut masyarakat Tatar Sunda pada waktu itu sama dengan ketika Sangkuriang mengerjakan persyaratan-persyaratan pernikahan yang diminta Dayang Sumbi. Menurut cerita, Sangkuriang mengerjakan semua persyaratan itu dengan dibantu oleh makhluk-makhluk gaib, sehingga dapat membuat danau dalam waktu semalam.


Falsafah Dalam Cerita Sangkuriang


Bagi masyarakat Kota Bandung, jika melihat (saat ini hanya bisa dilakukan di tempat yang tinggi) ke sebelah utara akan nampak terlihat gunung Tangkuban Parahu. Gunung Tangkuban Parahu itu seperti menyiratkan sebuah makna untuk sebuah peringatan bagi orang-orang yang melihatnya. Peringatan untuk tidak berlaku seperti Sangkuriang, yang memiliki tabiat yang bertolak belakang dengan orang-orang normal. Peringatan untuk tidak berlaku seperti sang raja yang membuang air seni kedalam tempurung (gambaran orang yang sembrono*). Juga peringatan untuk tidak berlaku seperti Dayang Sumbi yang memiliki anak dari seekor anjing(*).


Menurut Hidayat Suryalaga, legenda atau sasakala Sangkuriang dimaksudkan sebagai cahaya pencerahan (Sungging Perbangkara) bagi siapa saja manusianya yang masih bimbang akan keberadaan dirinya dan berkeinginan menemukan jatidiri kemanusiannya (Wayungyang). Hasil yang diperoleh dari pencariannya ini akan melahirkan nurani atau sebagai kebenaran sejati yang digambarkan melalui tokoh Dayang Sumbi. Tetapi bila tidak disertai dengan kehati-hatian dan kesadaran penuh (seperti saat-saat Dayang Sumbi tidak kuasa mengambil torompongnya saat menenun), maka dirinya akan dikuasai oleh rasa kebimbangan yang terus menerus (ketika Dayang Sumbi digagahi si Tumang) yang akan melahirkan ego-ego yang egoistis, yaitu jiwa yang belum tercerahkan dalam gambaran diri Sangkuriang.


Ketika Sang Nurani termakan lagi oleh kewaswasan (saat dimana Dayang Sumbi memakan hati si Tumang) maka hilanglah kesadaran yang hakiki. Rasa sesal yang dialami Sang Nurani dilampiaskan dengan dipukulnya kesombongan rasio Sang Ego (kepala Sangkuriang dipukul). Kesombongannya pula yang memengaruhi “Sang Ego Rasio” untuk menjauhi dan meninggalkan Sang Nurani. Ternyata keangkuhan Sang Ego Rasio yang berlelah-lelah mencari ilmu (kecerdasan intelektual) selama pengembaraannya di dunia (menuju ke arah Timur). Pada akhirnya kembali ke barat yang secara sadar maupun tidak sadar selalu dicari dan dirindukannya yaitu Sang Nurani (Pertemuan Sangkuriang dengan Dayang Sumbi).


Walau demikian ternyata penyatuan antara Sang Ego Rasio (Sangkuriang) dengan Sang Nurani yang tercerahkan (Dayang Sumbi), tidak semudah yang diperkirakan. Berbekal ilmu pengetahuan yang telah dikuasainya Sang Ego Rasio (Sangkuriang) harus mampu membuat suatu kehidupan sosial yang dilandasi kasih sayang, interdependency – silih asih, silih asah, dan silih asuh yang bersifat kemanusiaan yang harmonis, yaitu sebuah telaga kehidupan sosial (membuat Talaga Bandung) yang dihuni berbagai kumpulan manusia dengan bermacam ragam perangainya (Citarum).

Sementara itu keutuhan jatidirinya pun harus dibentuk pula oleh Sang Ego Rasio sendiri (pembuatan perahu). Keberadaan Sang Ego Rasio itu pun tidak terlepas dari sejarah dirinya, ada pokok yang menjadi asal muasalnya (Bukit Tunggul) sejak dari awal keberada-annya (timur, tempat awal terbit kehidupan). Sang Ego Rasio pun harus pula menunjukkan keberadaan dirinya (tutunggul, penada diri) dan pada akhirnya dia pun akan mempunyai keturunan yang terwujud dalam masyarakat yang akan datang dan suatu waktu semuanya berakhir ditelan masa menjadi setumpuk tulang-belulang (gunung Burangrang).


Betapa mengenaskan, bila ternyata harapan untuk bersatunya Sang Ego Rasio dengan Sang Nurani yang tercerahkan (hampir terjadi perkawinan Sangkuriang dengan Dayang Sumbi), gagal karena keburu hadir sang titik akhir, akhir hayat dikandung badan (boeh rarang atau kain kafan yang digunakan Dayang Sumbi untuk menyudahi perjuangan Sangkuriang). Akhirnya takdir yang menimpa Sang Ego Rasio hanyalah rasa menyesal yang teramat sangat dan marah kepada “dirinya”. Maka ditendangnya keegoisan rasio dirinya, jadilah seonggok manusia transendental tertelungkup meratapi kemalangan yang menimpa dirinya (Gunung Tangkubanparahu).


Walau demikian lantaran sang Ego Rasio masih merasa penasaran, dikejarnya terus Sang Nurani yang tercerahkan dambaan dirinya (Dayang Sumbi) dengan harapan dapat luluh bersatu antara Sang Ego Rasio dengan Sang Nurani. Tetapi ternyata Sang Nurani yang tercerahkan hanya menampakkan diri menjadi saksi atas perilaku yang pernah terjadi dan dialami Sang Ego Rasio (bunga Jaksi).


Akhir kisah yaitu ketika datangnya kesadaran berakhirnya kepongahan rasionya (Ujungberung). Dengan kesadarannya pula, dicabut dan dilemparkannya sumbat dominasi keangkuhan rasio (gunung Manglayang). Maka kini terbukalah saluran proses berkomunikasi yang santun dengan siapa pun (Sanghyang Tikoro atau tenggorokan; bahasa Sunda: Hade ku omong goreng ku omong). Dan dengan cermat dijaga benar makanan yang masuk ke dalam mulutnya agar selalu yang halal bersih dan bermanfaat.


Cerita Sangkuriang - Dayang Sumbi dan Simbol Manusia Saat Ini


Jika dicermati dengan sudut pandang lain, Sangkuriang merupakan seorang tokoh pria yang dinamis, kukuh pendirian, tidak mudah putus asa, berani, banyak akal, dan sangat teguh pada kemauan. Adapun Dayang Sumbi menggambarkan tokoh seorang wanita yang memegang kuat nilai-nilai tradisi dan pendirian (memahami larangan tradisi pernikahan antara ibu dan anak), dan juga banyak akal.


Seperti telah saya jelaskan diatas tentang makna dari nama Sangkuriang dan silsilahnya, sepertinya M A. Salmun tidak salah memaknai Sangkuriang sebagai makhluk yang jahat. Karena keinginan Sangkuriang dalam mengawini ibunya, hingga ia bersedia memenuhi persyaratan-persyaratan yang diberikan Dayang Sumbi. Namun jika dilihat dari tradisi, keinginan mengawini ibu kandung sendiri merupakan tabiat yang sangat bertolak belakang dari orang-orang biasa pada umumnya. Dari sudut pandang saya, Sangkuriang menggambarkan seorang manusia yang mengalami krisis moral dan krisis kepercayaan. Karena dalam ceritanya selain menginginkan sang ibu menjadi istrinya, Sangkuriang pun tidak mempercayai Dayang Sumbi adalah ibu kandungnya. Meski Dayang Sumbi telah menjelaskan jika dia merupakan ibunya, namun Sangkuriang tetap bersikeras tidak pernah mempercayainya.


Dari pernyataan tersebut menggambarkan, jika manusia sudah tidak memiliki kepercayaan terhadap apapun selain dirinya, itu berarti manusia sudah dipastikan tidak mempunyai pegangan hidup. Adapun manusia yang sudah tidak memiliki pegangan hidup lagi, dalam hal ini manusia yang sudah mengalami krisis moral dan krisis kepercayaan di zaman ini terbilang cukup banyak. Ini dibuktikan bahwa, manusia saat ini tidak saling menaruh kepercayaan kepada sesama manusia (karena hukum sebab-akibat), bahkan kepada hukum Tuhan. Gambarannya, manusia dari golongan atas (dalam hal ini orang-orang yang memegang jabatan di pemerintahan) lebih mengutamakan kepentingan kelompok dan dirinya sendiri (korup). Hal itu seakan melupakan atau bahkan tidak mempercayai tentang hukum yang dibuat manusia (hukum negara/tradisi) dan hukum agama yang bersumber langsung dari Tuhan, sehingga menimbulkan krisis kepercayaan dari golongan bawah (rakyat) ke golongan atas sendiri.


Konflik antara Sangkuriang dan Dayang Sumbi ibarat saling berhadapannya konvensi (tradisi) dan inovasi (modern) dalam konsep kebudayaan (Ekadjati, 2004). Pada hakikatnya, konflik semacam itu dipercaya akan timbul secara alamiah dalam kehidupan manusia, baik masa lalu, masa kini, dan masa depan.




Referensi :


       Sontani, Utuy Tatang. Sang Kuriang, Bhratara, Jakarta (1962).
       Ekadjati, Edi S. Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya (Sejarah Sunda),  Girimukti Pasaka, Jakarta (1984).
       Hidayat Suryalaga, Kajian Hermeneutika Terhadap Mitos dan Legenda Tangkuban Parahu Dengan Segala Aspeknya.
       Ekadjati, Edi S. Sangkuriang jeung Alam Prasejarah, Majalah Cupumanik No. 5 (2004).
      Sontani, Utuy Tatang. Sangkuriang Perlambang Manusa Kiwari, Majalah Sunda (1953).

Sesebutan Usum-Usuman

Usum mamaréng = usum mimiti rék ngijih. Usum ngijih = usum hujan, ngecrek saban poé. Usum dangdarat = usum panyelang antara usum hujan je...