27 September 2016

Sunda Sebagai Kebudayaan



Dalam pembahasannya, kebudayaan merupakan suatu ruang dalam kegiatan sosial di masyarakat. Permasalahan tentang pemahaman kebudayaan merupakan sebuah obyek yang sangat menarik untuk dibahas. Untuk memahami kebudayaan diperlukan cara berpikir yang panjang dan mendalam. Kebudayaan sendiri merupakan sebuah titipan sadar kepada manusia, dan digunakan secara sadar pula dan bebas bagi manusia sekalipun bukan sebagai nasib. Kata kebudayaan pun sering kita dengar dalam keseharian, baik itu dalam konteks formal atau informal.

Sementara kata kebudayaan sendiri berasal dari bahasa sanskerta, buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddi dan diartikan sebagai akal. (Muhammad Alfan, 2013). Dari sini kita dapat mengartikan kebudayaan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan akal. Namun dalam sebuah pemahaman yang saya dapatkan, pengertian kebudayaan adalah sebuah hasil pemikiran dan tindakan berpola manusia untuk menata kehidupan di masyarakat dan dapat diterima oleh masyarakat yang kemudian diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Dalam hal ini kebudayaan merupakan milik bersama anggota suatu masyarakat, digunakan oleh anggota masyarakat sebagai nilai-nilai dan norma dalam menjalankan kehidupan, dan diwariskan kepada generasi penerusnya melalui proses pengajaran dengan menggunakan simbol-simbol tertentu yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, baik itu melalui lisan atau tulisan atau bahkan melalui berbagai peralatan yang dibuat oleh masyarakat yang mempelopori budaya itu sendiri.

Indonesia merupakan negara yang kaya akan kebudayaan dari berbagai etnis yang ada di negara ini. Jawa, Sunda, Batak, Melayu, Betawi dan lain sebagainya. Namun dalam pembahasan kali ini, saya lebih tertarik membahas tentang salah satu etnis yang berada di Indonesia, tepatnya di sebelah barat pulau Jawa, yaitu Sunda. Bukan untuk membandingkan seberapa baik dengan budaya lain, kerena menurut saya semua kebudayaan etnis yang ada di Indonesia ini merupakan kebudayaan-kebudayaan yang sangat baik dan harus dijunjung tinggi oleh para pelaku kebudayaan daerah masing-masing, tetapi lebih karena saya merupakan manusia yang lahir dari etnis Sunda dan sepatutnya menjunjung tinggi nilai luhur budaya daerah sendiri tanpa harus membandingkan seberapa baik dengan kebudayaan lainnya di Indonesia.

Jika merunut sejarahnya, setidaknya ada enam periode yang memengaruhi perkembangan kebudayaan Sunda. Keenam periode perkembangan tersebut adalah masa prasejarah, masa pengaruh kebudayaan Hindu—Budha, masa pengaruh kebudayaan Islam, masa pengaruh kebudayaan Jawa,  masa pengaruh kebudayaan Barat, dan masa pengaruh kebudayaan nasional serta global. 

Menurut Ekadjati (2009:12), pada masa prasejarah, di tatar Sunda telah hidup kebudayaan yang diciptakan dan didukung oleh masyarakat yang telah lama mendiami wilayah ini, sebagaimana nampak dari peninggalan benda-benda budayanya. Selanjutnya Ekadjati (2009:13) menyebutkan bahwa kebudayaan Sunda setelah masuk pengaruh kebudayaan Hindu—Budha terbentuk dan berkembang pada masa Kerajaan Tarumanagara, Kerajaan Galuh, dan Kerajaan Sunda (abad ke-5 hingga abad ke-16 Masehi).

Menjelang runtuhnya Kerajaan Sunda, pengaruh Islam mulai nampak di beberapa tempat, utamanya di Banten dan Cirebon. Di kedua wilayah itu bahkan kemudian berdiri pula kesultanan. Pengaruh kebudayaan Islam semakin menguat setelah kesultanan Banten dan Cirebon berhasil melumpuhkan Kerajaan Sunda yang pada waktu itu beribukota di Pakuan Pajajaran. Pada masa itu pula pengaruh kebudayaan Jawa masuk ke wilayah Sunda. Hal ini disebabkan oleh posisi kesultanan Banten dan terutama Cirebon yang dikuasai oleh Demak kemudian Mataram pada abad ke-16 sampai dengan abad ke-19.

Pengaruh kebudayaan Barat terhadap kebudayaan Sunda terjadi ketika masa Kolonial Hindia Belanda, yaitu abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20 sedangkan kebudayaan nasional dan kebudayaan global mulai mempengaruhi kebudayaan Sunda sejak pertengahan abad ke-20 sampai dengan sekarang, yaitu ketika Negara Republik Indonesia mulai berdiri dan hubungan dengan dunia luar mulai terbuka luas.

Dari keenam periode tersebut, Ekadjati (2009:12) menyebutkan bahwa kebudayaan Sunda pada zaman kerajaan Sunda dianggap oleh orang Sunda sebagai kebudayaan ideal dan murni. Menurut Ekadjati (2009:13), zaman tersebut bahkan dipandang oleh manusia Sunda zaman sekarang sebagai masa keemasan orang Sunda karena Kerajaan Sunda dianggap sebagai negara ideal yang secara keseluruhan mencerminkan masa kejayaan, kemerdekaan, dan kemakmuran dunia tatar Sunda.

Sumardjo (2011:3) mengungkapkan bahwa pada dasarnya, kebudayaan Sunda bersifat intangible atau tidak nampak karena adanya di dalam pikiran masyarakatnya. Namun, kebudayaan itu dapat diketahui dari hasil-hasil tangible, yaitu semua bentuk artefak yang dihasilkan masyarakat Sunda sejak adanya di wilayah Sunda. Artinya, informasi mengenai kebudayaan Sunda pada masa kerajaan pun dapat diperoleh dari berbagai peninggalan sejarah dari masa kerajaan tersebut. Peninggalan-peninggalan sejarah yang kemudian menjadi sumber historiografi tradisional Sunda itu berupa tradisi lisan, tradisi tulisan, dan benda-benda budaya lainnya.

Berdasarkan naskah Carita Parahyangan misalnya, kita dapat mengetahui corak kehidupan di masa kerajaan Sunda, Abdurrahman, dkk. (1991:63) mengungkapkan bahwa pada masa kerajaan Sunda corak kehidupan masyarakatnya dipengaruhi oleh ajaran agama Hindu, agama Budha, dan kepercayaan terhadap ajaran leluhur. Keseluruhan ajaran agama dan etika kehidupan itu terdapat dalam kitab yang bernama Sanghyang Siksa Kandang Karesian.

Ekadjati (2009:131) mengungkapkan bahwa Carita Parahiyangan dan Sanghyang Siksa Kandang Karesian mengemukakan tiga macam himpunan peraturan yang berlaku pada masa Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda. Ketiga jenis peraturan tersebut disusun berdasarkan dua sumber, yaitu ajaran agama Hindu, Budha, dan Jatisunda (yang merupakan sinkretisme antara ajaran agama Hindu, Budha, dan pemujaan terhadap arwah nenek moyang), serta ajaran leluhur (purbatisti, purbajati, patikrama).

Purbatisti dan purbajati adalah penyebutan untuk ajaran leluhur menurut Carita Parahiyangan sedangkan patikrama adalah penyebutan untuk ajaran leluhur berdasarkan Amanat Galunggung. Menurut Ekadjati (2009:132), makna purbatisti ialah seperti masa lalu; maksudnya ajaran leluhur, himpunan peraturan, adat atau tradisi yang berlaku masa lalu. Adapun patikrama bermakna tuntunan atau pedoman hidup bagi rakyat dan pemimpin atau pejabat kerajaan agar tercapai kesejahteraan hidup di dunia ini dan di akhirat Ekadjati (2009:181)

Sesebutan Usum-Usuman

Usum mamaréng = usum mimiti rék ngijih. Usum ngijih = usum hujan, ngecrek saban poé. Usum dangdarat = usum panyelang antara usum hujan je...