19 May 2014

Sedikit Tentang Bandung

Bandung terhampar 768 meter diatas permukaan laut yang menjadikannya berudara sejuk. Berjajarnya bangunan kuno bergaya Art Deco, dan sejarahnya sebagai tujuan rekreasi dan belanja para pelancong dalam dan luar negeri, maka  Bandung dahulu dijuluki sebagai "Paris of Java” atau Parijs van Java. British Council menjadikan kota Bandung sebagai pilot project kota terkreatif se-Asia Timur pada tahun 2007. Selain itu tahun 2001 Kota Bandung dianugerahi predikat peringkat 9 dari 10 World Cities of Art Deco sebagai kota yang banyak memiliki koleksi gedung lama berlanggamArt Deco. Beberapa gedung yang sering ditafsirkan berlanggam Art Deco di Bandung adalah Hotel PreangerHotel Savoy HomannBank JabarJaarbeursGedung Merdeka, serta beberapa pertokoan lama di sepanjang Jalan Braga.

Bandung memiliki tempat tersendiri dalam sejarah perjuangan diplomasi Indonesia. Bandung seakan menjadi mercusuar politik luar negeri Indonesia di masa depan. Tak akan lekang ditelan zaman. Delapan puluh tahun silam, gagasan Solidaritas Rakyat Asia Afrika didengung-dengungkan Bung Karno di Lapangan Tegallega Kota Bandung. Solidaritas ini kelak bermuara pada lahirnya Sepuluh Prinsip Bandung (Semangat Bandung / Bandung Spirit) pada KAA 1955. Selanjutnya, hingga saat ini Bandung Spirit (Dasa Sila Bandung) diakui sebagai sumber inspirasi perdamaian dunia yang paling hakiki. Dan Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru dalam pidatonya mengatakan bahwa Bandung adalah ibu kotanya Asia-Afrika.

Pada tanggal 24 Maret 1946, atas dasar ultimatum tentara sekutu agar TRI (Tentara Republik Indonesia) meninggalkan kota Bandung bagian selatan, akhirnya mendorong TRI untuk melakukan "pembumihangusan". Selatan Bandung akhirnya sengaja dibakar oleh TRI dan rakyat setempat dengan maksud agar Sekutu tidak dapat menggunakan Bandung sebagai markas strategis militer. Di mana-mana asap hitam mengepul membubung tinggi di udara dan semua listrik mati. Tentara Inggris mulai menyerang sehingga pertempuran sengit terjadi. Pertempuran yang paling besar terjadi di Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung, di mana terdapat gudang amunisi besar milik Tentara Sekutu. Dalam pertempuran ini Muhammad Toha dan Ramdan, dua anggota milisi BRI (Barisan Rakjat Indonesia) terjun dalam misi untuk menghancurkan gudang amunisi tersebut. Muhammad Toha berhasil meledakkan gudang tersebut dengan dinamit. Gudang besar itu meledak dan terbakar bersama kedua milisi tersebut di dalamnya. Staf pemerintahan kota Bandung pada mulanya akan tetap tinggal di dalam kota, tetapi demi keselamatan mereka, maka pada pukul 21.00 itu juga ikut dalam rombongan yang mengevakuasi dari Bandung. Sejak saat itu, kurang lebih pukul 24.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan TRI. Tetapi api masih membubung membakar kota, sehingga Bandung pun menjadi lautan api.

::Punten ah, ngan sakedik kekenginganna, nu penting urang bandung teu poekkeun teuing kana sajarah dayeuhna. Sanes kitu Pa RT?? hhaha..

17 May 2014

Menelisik Arti Dari Pakuan Pajajaran


  Dalam sumber sejarah dari piagam (prasasti) Kebantenan maupun piagam Batutulis atau naskah-naskah lontar, ejaan kata pakuan ternyata berbeda. Dalam piagam Kebantenan dari tembaga, tertulis kata pakuan, adapun dalam piagam Batutulis dan naskah-naskah lontar tertulis dengan menggunakan pasangan ‘wa’, menjadi pakwan. Ejaan dalam piagam Kebantenan dalam penggunaan vokal /u/ dan /a/ yang berurutan, sama seperti yang tertulis dalam piagam Wastu Kancana di Kawali (Ciamis). Disana terdapat kata-kata kadatuan dan buana.
Adapula disebutkan dalam berbagai sumber sejarah terdapat tiga jenis: Pakuan Pajajaran, Pakuan, dan Pajajaran. Nama Pajajaran yang mandiri, hanya tertulis dalam pembukaan piagam Kebantenan V yang tertulis; “Pun ini piteket nu seba ka pajajaran”. Namun nama Pakuan Pajajaran agak sering didapat dibanding nama Pajajaran dalam piagam Kabantenan maupun dalam naskah-naskah lontar. Tetapi dibanding keduanya (Pakuan Pajajaran dan Pajajaran) nama Pakuan  lebih sering disebutkan.
Menurut Holle (dalam TBG, 17, 1867) bisa jadi nama Pakuan Pajajaran diartikan sebagai pohon paku (pakis) yang berjajar (de oprijen staande pakoebomen). Untuk menguatkan argumennya, Holle menunjukan adanya sungai kecil Cipaku yang melintasi daerah Batutulis bekas pusat pemerintahan Pajajaran.
Sementara Poerbatjaraka berpendapat, kata Pakwan jika dibahasa Jawa-kan menjadi Pakuwon yang berasal dari kata kuwu. Pakuwon berarti tempat tinggal. Dalam bahasa Sunda Kawi kata Pakwan  berarti pesanggrahan atau tempat tinggal. Dari  Pakwwan berubah menjadi Pakwan, jika “lidah Sunda” menyebutkannya maka akan berbunyi pakuan. Poerbatjaraka berpendapat bahwa Pakuan Pajajaran berarti keraton (tempat tinggal para pejabat kerajaan) yang berjajar (de aan rijen staande hoven), meskipun tidak menjelaskan secara detail. (TBG, 59, 1921).
Menurut Amir Sutaarga (Prabu Siliwangi, 1965), kata Pakuan berarti kota (negara, jika dalam kerajaan), sedangkan Pajajaran nama untuk pakuan tersebut. Ini merujuk kepada pendapat Ir.H. ten Dam (Indonesie, 10, 1957).
Dari berbagai pendapat para ahli tersebut nama Pakuan Pajajaran ternyata melahirkan banyak tafsiran, sehingga Amir Sutaarga berujar, nama Pakuan Pajajaran sangat banyak mengandung arti (poly interpretable). Dari sana kita dapat menginterpretasikan sendiri arti dari Pakuan Pajajaran sesuai pendapat para ahli dan dari berbagai sumber lainnya.

.

16 May 2014

SUNDA YANG TERLUPAKAN ATAU YANG DILUPAKAN


Sunda, sebuah istilah yang memiliki pemahaman yang dapat berkembang kepada beberapa pengertian. Istilah “Sunda” dapat dirujuk kepada beberapa pemahaman, seperti etnis, wilayah geografis, dan kebudayaan. Menurut Ekadjati (1995), pengertian-pengertian tersebut terkadang tampak kentara secara terpisah, dan kadang-kadang dapat dipahami secara bersamaan. Dalam membedakan istilah “Sunda” biasanya ditambahkan sebuah kata didepannya supaya dapat menjelaskan makna dari kandungan istilah “Sunda” itu sendiri, seperti Urang Sunda (Sundanese people), tatar Sunda (Sundaland), dan budaya Sunda.

Dalam pengertian kata, Ekadjati (1995) mengutip dari pendapat Eringa, Rouffaer, dan Williams kata “Sunda” berasal dari bahasa Sanskerta (Classic Indian Language) yang kemungkinannya berakar dari kata Sund atau kata Suddha yang berpengertian bersinar, terang, putih. Adapun dalam bahasa Jawa Kuna atau Kawi (Classic Javanese Language) dan bahasa Bali, kata “Sunda” berpengertian bersih, suci, murni, tidak tercela/bernoda, air, tumpukan, pangkat, waspada.

Dalam pemahaman istilah, Urang Sunda (Sundanese People) dapat dipahami sebagai pemahaman etnis. Pengertian tersebut setidaknya tercakup dua kriteria besar yang dapat dijadikan patokan untuk menyebut seseorang sebagai Urang Sunda atau bukan  Urang Sunda. Kriteria pertama didasarkan atas keturunan atau hubungan darah. Jadi, seseorang bisa dikatakan Urang Sunda apabila orangtuanya -baik dari pihak ayah atau ibu atau keduanya- merupakan orang Sunda, terlepas dimana dia berada atau dibesarkan. Kedua didasarkan atas sosial budaya. Seseorang dikatakan Urang Sunda jika dia dibesarkan dalam lingkungan sosial dan budaya Sunda. Untuk kriteria kedua, yang dianggap penting yaitu tempat tinggal,b kehidupan sosial dan budaya, dan sikap dari orang yang dianggap Urang Sunda tersebut.

Selanjutnya dalam pemahan geografis, “Sunda”dijadikan nama kerajaan yang beribukota di Pakuan Pajajaran yang terletak di sekitar daerah Kota Bogor sekarang. Kerajaan Sunda ini telah diketahui berdiri sekitar abad ke-7 Masehi dan berakhir pada tahun 1579 Masehi. (Ekadjati 1995). Namun menurut kisah sejarah lainnya, kerajaan pertama di tatar Sunda adalah kerajaan Salakanagara yang diperkirakan berlokasi di daerah Pandeglang sekarang ini. Kerajaan Salaknagara sendiri dipercaya telah berdiri pada sekitar tahun 130 Masehi dan merupakan kerajaan tertua di Nusantara.

Dalam konteks budaya, “Sunda” mengalami setidaknya enam periode yang mempengaruhi kebudayaan Sunda. Enam periode tersebut yaitu periode pra-sejarah, periode kebudayaan Hindu-Budha, periode kebudayaan Islam, masa pengaruh kebudayaan Jawa, periode kebudayaan Barat, dan periode pengaruh nasional serta global.

Pada masa pra-sejarah kebudayaan Sunda telah hidup, oleh masyarakat yang sudah mendiami tatar Sunda. Sebagaimana nampak dari peninggalan benda-benda budayanya. Kemudian kebudayaan Sunda setelah masuknya pengaruh kebudayaan Hindu-Budha terbentuk dan berkembang pada masa kerajaan Tarumanagara, kerajaan Galuh, dan kerajaan Sunda (abad ke-5 hingga abad ke-16 Masehi). Tetapi kebudayaan Sunda menemukan puncak kejayaannya diera kerajaan Sunda, terutama pada masa pemerintahan Prabu Niskala Wastu Kancana dan Ratu Jayadewata atau Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi. Pada masa tersebut Sunda mengalami kemajuan peradaban dengan kesejahteraan rakyatnya dan kemajuan hidup beragama. Pengaruh kebudayaan Hindu dan Budha memang mewarnai kehidupan pada masa itu. Namun demikian, pengaruh itu tidak kemudian menjadikannya dominan sebab ada lagi ajaran yang menjadi pedoman hidup masyarakatnya, yaitu ajaran karuhun (leluhur) Sunda.

Menjelang runtuhnya Kerajaan Sunda, pengaruh Islam mulai nampak di beberapa tempat, utamanya di Banten dan Cirebon. Di kedua wilayah itu bahkan kemudian berdiri pula kesultanan. Pengaruh kebudayaan Islam semakin menguat setelah kesultanan Banten dan Cirebon berhasil melumpuhkan Kerajaan Sunda yang pada waktu itu beribukota di Pakuan Pajajaran. Pada masa itu pula pengaruh kebudayaan Jawa masuk ke wilayah Sunda. Hal ini disebabkan oleh posisi kesultanan Banten dan terutama Cirebon yang dikuasai oleh Demak kemudian Mataram pada abad ke-16 sampai dengan abad ke-19.

Pengaruh kebudayaan Barat terhadap kebudayaan Sunda terjadi ketika masa Kolonial Hindia Belanda, yaitu abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20 sedangkan kebudayaan nasional dan kebudayaan global mulai mempengaruhi kebudayaan Sunda sejak pertengahan abad ke-20 sampai dengan sekarang, yaitu ketika Negara Republik Indonesia mulai berdiri dan hubungan dengan dunia luar mulai terbuka luas.

Mencermati Kebudayaan Sunda Saat Ini


Budaya Sunda merupakan salah satu kebudayaan suku bangsa di Indonesia yang berusia tua. Bahkan dibandingkan dengan kebudayaan Jawa sekalipun, kebudayaan Sunda sebenarnya termasuk kebudayaan yang berusia relatif tua, setidaknya dalam suatu proses pengenalan budaya tulisan. Kebudayaan Sunda yang ideal kemudian sering dikaitkan sebagai kebudayaan para raja Sunda di masa lalu.

Dalam perkembangannya, budaya Sunda kini banyak mendapat gugatan kembali. Pertanyaan seputar eksistensi budaya Sunda pun seringkali mencuat ke permukaan. Apakah kebudayaan Sunda masih ada? Jika masih ada, siapa pemiliknya? Pertanyaan seputar eksistensi budaya Sunda yang sepertinya provokatif itu, jika dikaji dengan tenang sebetulnya merupakan pertanyaan yang wajar. Mengapa demikian? Jawabannya sederhana, karena budaya Sunda dalam kenyataannya saat ini memang seperti kehilangan rohnya atau setidaknya tidak jelas arah tujuannya.

 


Watak Budaya Sunda


Menurut Eman Sulaeman dari Yayasan Hanjuang, Bogor, ada beberapa watak dalam budaya Sunda tentang satu jalan menuju keutamaan hidup. Selain itu, watak dalam budaya Sunda itu juga dapat menjadi bekal keselamatan dalam menjalani kehidupan. Watak tersebut ada lima, yaitu Cageur (sehat), Bageur (baik hati), Bener (benar/jujur), Pinter (pandai), dan Singer (tahu diri) yang sudah ada sejak zaman kerajaan Salakanagara. Semua itu sebagai dasar utama Urang Sunda yang hidupnya harus nyunda (bergaya hidup yang mengarah ke kebudayaan Sunda).

Jika direspon secara satu-persatu, kita selaku Urang Sunda dapat menafsirkan lima watak budaya Sunda itu. Cageur yang berarti sehat menggambarkan bahwa Urang Sunda harus sehat jasmani dan rohani, sehat dalam berpikir, sehat dalam berpendapat, sehat moral, sehat dalam berbuat dan bertindak, serta sehat dalam berprasangka. Bageur yang berarti berbudi pekerti atau baik hati atau menjunjung tinggi norma kesopanan menggambarkan bahwa Urang Sunda harus menyayangi, menghormati dan menghargai sesama, seperti dalam budaya kehidupan sosial Urang Sunda sendiri yaitu, silih asah, silih asih, dan silih asuh, dimana ketiga unsur tersebut mencerminkan hubungan kemanusiaan Urang Sunda.  Selain itu Urang Sunda harus memiliki moral yang baik, tidak mudah emosional atau terprovokasi dengan sesuatu yang bisa memancing ketidak harmonisan di lingkungan sosial Urang Sunda itu sendiri, dan saling menolong dengan dibarengi rasa ikhlas. Bener yaitu tidak bohong atau jujur, tidak asal-asalan dalam melakukan sesuatu, amanah, lurus dalam menjalankan perintah agama, benar dalam melakukan segala hal yang positif. Pinter berarti pandai, pandai dalam menyesuaikan diri dengan sesama, pandai untuk menyelesaikan masalah dengan bijaksana, pandai dalam menghargai orang lain, dan tidak merasa pintar sendiri sambil tidak menyudutkan orang lain.

Dibalik watak budaya Sunda tersebut, Urang Sunda memiliki budaya yang dapat mempersatukan identitas mereka sebagai Urang Sunda yaitu bahasanya. Dalam perkembangan peradaban budaya sebuah suku bangsa bahasa dirasa sangat penting peranannya. Bahasa merupakan alat komunikasi antar manusia, sehingga peradaban manusia dimulai dari bahasanya. Begitu pula etnis Sunda, bahasa Sunda merupakan cikal bakal dari peradaban budaya. Selain itu bahasa Sunda juga merupakan sebuah jati diri seseorang yang disebut Urang Sunda. Hubungan antara Urang Sunda dan bahasanya memang cukup erat. Urang Sunda dapat mendeskripsikan dirinya sebagai manusia yang berasal dari tatar Sunda dengan selalu bertutur kata kata bahasa Sunda dalam kesehariannya. Namun kini lebih banyak Urang Sunda (yang lahir dan dibesarkan di tatar Sunda, khususnya daerah Jawa bagian barat) terutama yang tinggal di perkotaan mulai jarang menggunakan bahasa Sunda dalam berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Sunda.

Seiring dengan terlupakannya bahasa Sunda di tanahnya sendiri menjadikan budaya Sunda terancam kelestariannya. Pelestarian budaya Sunda saat ini memang terus digalakan oleh para inohong (tokoh) Sunda dan pejabat daerah. Namun kesadaran sebagian besar para nonoman (pemuda) Sunda seperti tidak peduli akan asal-usul  mereka. Para nonoman Sunda tidak mengetahui akan pentingnya sebuah budayanya itu sebagai martabat bangsanya. Gengsi akan hedonisme sepertinya lebih mereka banggakan dari pada kebanggaan sebagai manusia yang suku bangsanya mempunyai peradaban besar di negara ini. Begitu pula para orang tua saat ini yang kebanyakan jarang mendidik anaknya dalam berbicara bahasa ibu.

Pada intinya seseorang pengguna bahasa tidak perlu fanatik terkait dengan nasionalisme, sehingga tidak ingin berbahasa lain, memang kemampuan bahasa Indonesia dengan baik perlu dimiliki. Begitu juga kemampuan bahasa asing, seperti halnya bahasa Inggris untuk pergaulan internasional atau menghadapi zaman globalisasi saat ini perlu dikuasai pula, tetapi tidak harus meninggalkan atau melupakan penggunaan bahasa Sunda sebagai “bahasa ibu” Urang Sunda di tatar Sunda sendiri.

Sepatutnya semua elemen dalam lingkup kehidupan sosial Sunda harus kembali mengetahui purwadaksi (asal-usul) dari budayanya sendiri dengan mengedepankan sikap silih asah, silih asuh, dan silih asih. Yaitu dengan kembali ke kehidupan yang nyunda, memulai dengan bertutur kata dengan menggunakan bahasa ibu dalam kehidupan sehari-hari. Agar budaya sebuah suku bangsa di negara kita dapat kembali berkembang dan mampu memberikan kembali peradaban baru di negara kita. Karena, martabat suatu bangsa dapat dilihat dari budayanya, dan apabila budaya suatu bangsa sudah berantakan maka bangsanya pun akan ikut hancur berantakan. Salah satu perangkat yang dapat menghidupkan kembali budaya adalah bahasa. Untuk itu kita sebagai Urang Sunda yang lahir dan besar di tatar Sunda harus bisa menjaga dan melestarikan budaya kita sendiri, supaya negara kita dapat menjadi bangsa yang besar dari berbagai suku bangsa dengan budaya yang besar pula.

Referensi;
a.    Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2010. Badan Pusat Statistik. 2011. ISBN 9789790644175.
b.    Sundanese Culture
c.    Rosidi, Ayip. Revitalisasi dan Aplikasi Nilai-nilai Budaya Sunda dalam Pembangunan Daerah.
d.    Suryani NS, Elis (Oktober). Ragam Pesona Budaya Sunda. Ghalia Indonesia. ISBN 978-979-450-621-9.
e.    Hasbullah, Moeflich. Tergerusnya Kebudayaan Sunda. Kompas Cetak.
f.    Hendayana, Yayat. Jawa Barat 2010, Terdepan atau Terpinggirkan?. Pikiran Rakyat.
g.    Kamus Bahasa Sunda
h.    (Inggris) (Inggris) Bahasa Sunda di Ethnologue
i.    (Inggris) Ethnologue : "Austronesian, Malayo-Polynesian, Malayo-Sumbawan, Sundanese"
j.    Ekadjati, Edi. S. Kebudayaan Sunda(Suatu Pendekatan Sejarah). Pustaka Jaya. 1995.

Sesebutan Usum-Usuman

Usum mamaréng = usum mimiti rék ngijih. Usum ngijih = usum hujan, ngecrek saban poé. Usum dangdarat = usum panyelang antara usum hujan je...