Sunda,
sebuah istilah yang memiliki pemahaman yang dapat berkembang kepada beberapa
pengertian. Istilah “Sunda” dapat dirujuk kepada beberapa pemahaman, seperti
etnis, wilayah geografis, dan kebudayaan. Menurut Ekadjati (1995),
pengertian-pengertian tersebut terkadang tampak kentara secara terpisah, dan
kadang-kadang dapat dipahami secara bersamaan. Dalam membedakan istilah “Sunda”
biasanya ditambahkan sebuah kata didepannya supaya dapat menjelaskan makna dari
kandungan istilah “Sunda” itu sendiri, seperti
Urang Sunda (Sundanese people),
tatar
Sunda (Sundaland), dan budaya Sunda.
Dalam
pengertian kata, Ekadjati (1995) mengutip dari pendapat Eringa, Rouffaer, dan
Williams kata “Sunda” berasal dari bahasa Sanskerta (Classic Indian Language)
yang kemungkinannya berakar dari kata Sund
atau kata Suddha yang berpengertian
bersinar, terang, putih. Adapun dalam bahasa Jawa Kuna atau Kawi (Classic
Javanese Language) dan bahasa Bali, kata “Sunda” berpengertian bersih, suci,
murni, tidak tercela/bernoda, air, tumpukan, pangkat, waspada.
Dalam
pemahaman istilah, Urang Sunda
(Sundanese People) dapat dipahami sebagai pemahaman etnis. Pengertian tersebut
setidaknya tercakup dua kriteria besar yang dapat dijadikan patokan untuk
menyebut seseorang sebagai Urang Sunda
atau bukan Urang Sunda. Kriteria pertama didasarkan
atas keturunan atau hubungan darah. Jadi, seseorang bisa dikatakan Urang Sunda apabila orangtuanya -baik
dari pihak ayah atau ibu atau keduanya- merupakan orang Sunda, terlepas dimana
dia berada atau dibesarkan. Kedua didasarkan atas sosial budaya. Seseorang
dikatakan Urang Sunda jika dia
dibesarkan dalam lingkungan sosial dan budaya Sunda. Untuk kriteria kedua, yang
dianggap penting yaitu tempat tinggal,b kehidupan sosial dan budaya, dan sikap
dari orang yang dianggap Urang Sunda
tersebut.
Selanjutnya
dalam pemahan geografis, “Sunda”dijadikan nama kerajaan yang beribukota di
Pakuan Pajajaran yang terletak di sekitar daerah Kota Bogor sekarang. Kerajaan
Sunda ini telah diketahui berdiri sekitar abad ke-7 Masehi dan berakhir pada
tahun 1579 Masehi. (Ekadjati 1995). Namun menurut kisah sejarah lainnya,
kerajaan pertama di tatar Sunda adalah kerajaan Salakanagara yang diperkirakan
berlokasi di daerah Pandeglang sekarang ini. Kerajaan Salaknagara sendiri
dipercaya telah berdiri pada sekitar tahun 130 Masehi dan merupakan kerajaan
tertua di Nusantara.
Dalam
konteks budaya, “Sunda” mengalami setidaknya enam periode yang mempengaruhi
kebudayaan Sunda. Enam periode tersebut yaitu periode pra-sejarah, periode
kebudayaan Hindu-Budha, periode kebudayaan Islam, masa pengaruh kebudayaan
Jawa, periode kebudayaan Barat, dan periode pengaruh nasional serta global.
Pada
masa pra-sejarah kebudayaan Sunda telah hidup, oleh masyarakat yang sudah
mendiami tatar Sunda. Sebagaimana nampak dari peninggalan benda-benda
budayanya. Kemudian kebudayaan Sunda setelah masuknya pengaruh kebudayaan
Hindu-Budha terbentuk dan berkembang pada masa kerajaan Tarumanagara, kerajaan
Galuh, dan kerajaan Sunda (abad ke-5 hingga abad ke-16 Masehi). Tetapi
kebudayaan Sunda menemukan puncak kejayaannya diera kerajaan Sunda, terutama
pada masa pemerintahan Prabu Niskala Wastu Kancana dan Ratu Jayadewata atau Sri
Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi. Pada masa tersebut Sunda mengalami
kemajuan peradaban dengan kesejahteraan rakyatnya dan kemajuan hidup beragama. Pengaruh kebudayaan Hindu dan Budha memang mewarnai
kehidupan pada masa itu. Namun demikian, pengaruh itu tidak kemudian
menjadikannya dominan sebab ada lagi ajaran yang menjadi pedoman hidup
masyarakatnya, yaitu ajaran karuhun
(leluhur) Sunda.
Menjelang runtuhnya Kerajaan Sunda, pengaruh Islam
mulai nampak di beberapa tempat, utamanya di Banten dan Cirebon. Di kedua
wilayah itu bahkan kemudian berdiri pula kesultanan. Pengaruh kebudayaan Islam
semakin menguat setelah kesultanan Banten dan Cirebon berhasil melumpuhkan
Kerajaan Sunda yang pada waktu itu beribukota di Pakuan Pajajaran. Pada masa
itu pula pengaruh kebudayaan Jawa masuk ke wilayah Sunda. Hal ini disebabkan
oleh posisi kesultanan Banten dan terutama Cirebon yang dikuasai oleh Demak
kemudian Mataram pada abad ke-16 sampai dengan abad ke-19.
Pengaruh kebudayaan Barat terhadap kebudayaan Sunda
terjadi ketika masa Kolonial Hindia Belanda, yaitu abad ke-19 hingga
pertengahan abad ke-20 sedangkan kebudayaan nasional dan kebudayaan global
mulai mempengaruhi kebudayaan Sunda sejak pertengahan abad ke-20 sampai dengan
sekarang, yaitu ketika Negara Republik Indonesia mulai berdiri dan hubungan
dengan dunia luar mulai terbuka luas.
Mencermati
Kebudayaan Sunda Saat Ini
Budaya
Sunda merupakan salah satu kebudayaan suku bangsa di Indonesia yang berusia
tua. Bahkan dibandingkan dengan kebudayaan Jawa sekalipun, kebudayaan Sunda
sebenarnya termasuk kebudayaan yang berusia relatif tua, setidaknya dalam suatu
proses pengenalan budaya tulisan. Kebudayaan Sunda yang ideal kemudian sering
dikaitkan sebagai kebudayaan para raja Sunda di masa lalu.
Dalam
perkembangannya, budaya Sunda kini banyak mendapat gugatan kembali. Pertanyaan
seputar eksistensi budaya Sunda pun seringkali mencuat ke permukaan. Apakah
kebudayaan Sunda masih ada? Jika masih ada, siapa pemiliknya? Pertanyaan
seputar eksistensi budaya Sunda yang sepertinya provokatif itu, jika dikaji
dengan tenang sebetulnya merupakan pertanyaan yang wajar. Mengapa demikian?
Jawabannya sederhana, karena budaya Sunda dalam kenyataannya saat ini memang
seperti kehilangan rohnya atau setidaknya tidak jelas arah tujuannya.
Watak Budaya
Sunda
Menurut
Eman Sulaeman dari Yayasan Hanjuang, Bogor, ada beberapa watak dalam budaya
Sunda tentang satu jalan menuju keutamaan hidup. Selain itu, watak dalam budaya
Sunda itu juga dapat menjadi bekal keselamatan dalam menjalani kehidupan. Watak
tersebut ada lima, yaitu Cageur
(sehat), Bageur (baik hati), Bener (benar/jujur), Pinter (pandai), dan Singer (tahu diri) yang sudah ada sejak zaman kerajaan
Salakanagara. Semua itu sebagai dasar utama Urang
Sunda yang hidupnya harus nyunda
(bergaya hidup yang mengarah ke kebudayaan Sunda).
Jika
direspon secara satu-persatu, kita selaku Urang
Sunda dapat menafsirkan lima watak budaya Sunda itu. Cageur yang berarti sehat menggambarkan bahwa Urang Sunda harus sehat jasmani dan rohani, sehat dalam berpikir,
sehat dalam berpendapat, sehat moral, sehat dalam berbuat dan bertindak, serta
sehat dalam berprasangka. Bageur yang
berarti berbudi pekerti atau baik hati atau menjunjung tinggi norma kesopanan
menggambarkan bahwa Urang Sunda harus
menyayangi, menghormati dan menghargai sesama, seperti dalam budaya kehidupan
sosial Urang Sunda sendiri yaitu, silih asah, silih asih, dan silih asuh, dimana ketiga unsur tersebut
mencerminkan hubungan kemanusiaan Urang
Sunda. Selain itu Urang Sunda harus memiliki moral yang
baik, tidak mudah emosional atau terprovokasi dengan sesuatu yang bisa
memancing ketidak harmonisan di lingkungan sosial Urang Sunda itu sendiri, dan saling menolong dengan dibarengi rasa
ikhlas. Bener yaitu tidak bohong atau
jujur, tidak asal-asalan dalam melakukan sesuatu, amanah, lurus dalam
menjalankan perintah agama, benar dalam melakukan segala hal yang positif. Pinter berarti pandai, pandai dalam
menyesuaikan diri dengan sesama, pandai untuk menyelesaikan masalah dengan
bijaksana, pandai dalam menghargai orang lain, dan tidak merasa pintar sendiri
sambil tidak menyudutkan orang lain.
Dibalik
watak budaya Sunda tersebut, Urang Sunda
memiliki budaya yang dapat mempersatukan identitas mereka sebagai Urang Sunda yaitu bahasanya. Dalam
perkembangan peradaban budaya sebuah suku bangsa bahasa dirasa sangat penting
peranannya. Bahasa merupakan alat komunikasi antar manusia, sehingga peradaban
manusia dimulai dari bahasanya. Begitu pula etnis Sunda, bahasa Sunda merupakan
cikal bakal dari peradaban budaya. Selain itu bahasa Sunda juga merupakan
sebuah jati diri seseorang yang disebut Urang
Sunda. Hubungan antara Urang Sunda
dan bahasanya memang cukup erat. Urang
Sunda dapat mendeskripsikan dirinya sebagai manusia yang berasal dari tatar
Sunda dengan selalu bertutur kata kata bahasa Sunda dalam kesehariannya. Namun
kini lebih banyak Urang Sunda (yang
lahir dan dibesarkan di tatar Sunda, khususnya daerah Jawa bagian barat)
terutama yang tinggal di perkotaan mulai jarang menggunakan bahasa Sunda dalam
berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Sunda.
Seiring
dengan terlupakannya bahasa Sunda di tanahnya sendiri menjadikan budaya Sunda
terancam kelestariannya. Pelestarian budaya Sunda saat ini memang terus
digalakan oleh para inohong (tokoh)
Sunda dan pejabat daerah. Namun kesadaran sebagian besar para nonoman (pemuda) Sunda seperti tidak
peduli akan asal-usul mereka. Para nonoman Sunda tidak mengetahui akan
pentingnya sebuah budayanya itu sebagai martabat bangsanya. Gengsi akan
hedonisme sepertinya lebih mereka banggakan dari pada kebanggaan sebagai
manusia yang suku bangsanya mempunyai peradaban besar di negara ini. Begitu pula
para orang tua saat ini yang kebanyakan jarang mendidik anaknya dalam berbicara
bahasa ibu.
Pada
intinya seseorang pengguna bahasa tidak perlu fanatik terkait dengan
nasionalisme, sehingga tidak ingin berbahasa lain, memang kemampuan bahasa
Indonesia dengan baik perlu dimiliki. Begitu juga kemampuan bahasa asing,
seperti halnya bahasa Inggris untuk pergaulan internasional atau menghadapi
zaman globalisasi saat ini perlu dikuasai pula, tetapi tidak harus meninggalkan
atau melupakan penggunaan bahasa Sunda sebagai “bahasa ibu” Urang Sunda di tatar Sunda sendiri.
Sepatutnya semua elemen dalam lingkup kehidupan sosial
Sunda harus kembali mengetahui purwadaksi
(asal-usul) dari budayanya sendiri dengan mengedepankan sikap silih asah, silih asuh, dan silih asih. Yaitu dengan kembali ke
kehidupan yang nyunda, memulai dengan
bertutur kata dengan menggunakan bahasa ibu dalam kehidupan sehari-hari. Agar
budaya sebuah suku bangsa di negara kita dapat kembali berkembang dan mampu
memberikan kembali peradaban baru di negara kita. Karena, martabat suatu bangsa
dapat dilihat dari budayanya, dan apabila budaya suatu bangsa sudah berantakan
maka bangsanya pun akan ikut hancur berantakan. Salah satu perangkat yang dapat
menghidupkan kembali budaya adalah bahasa. Untuk itu kita sebagai Urang Sunda yang lahir dan besar di
tatar Sunda harus bisa menjaga dan melestarikan budaya kita sendiri, supaya
negara kita dapat menjadi bangsa yang besar dari berbagai suku bangsa dengan
budaya yang besar pula.
Referensi;
a. Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2010. Badan Pusat Statistik. 2011. ISBN 9789790644175.
b. Sundanese Culture
c. Rosidi, Ayip. Revitalisasi dan Aplikasi Nilai-nilai Budaya Sunda dalam Pembangunan Daerah.
d. Suryani NS, Elis (Oktober). Ragam Pesona Budaya Sunda. Ghalia Indonesia. ISBN 978-979-450-621-9.
e. Hasbullah, Moeflich. Tergerusnya Kebudayaan Sunda. Kompas Cetak.
f. Hendayana, Yayat. Jawa Barat 2010, Terdepan atau Terpinggirkan?. Pikiran Rakyat.
g. Kamus Bahasa Sunda
h. (Inggris) (Inggris) Bahasa Sunda di Ethnologue
i. (Inggris) Ethnologue : "Austronesian, Malayo-Polynesian, Malayo-Sumbawan, Sundanese"
j. Ekadjati, Edi. S. Kebudayaan Sunda(Suatu Pendekatan Sejarah). Pustaka Jaya. 1995.
Sungguh luar biasa, bila kita membaca Sejarah negara Indonesia ini. Menjadikan dirikita bangga. yang mana dahulu kala terbentukdan dipersatukan dengan Kerajaan-kerajaan. Khususnya di Sunda.
ReplyDeleteYa, teh. Sepatutnya kita harus terus melestarikan budaya daerah kita sendiri, supaya bangsa kita dapat memperlihatkan kebesaran dari keberagamannya kepada bangsa-bangsa lain di dunia.
Delete