30 June 2014

BUDAYA BODOR SUNDA DALAM TOKOH SASTRA SUNDA

Bodor dalam kamus Lembaga Basa jeung Sastra Sunda (LBSS) berarti purah nyieun pikaseurieun batur (kelakuan yang membuat orang lain tertawa). Dalam budaya masyarakat Sunda bodor  seperti sebuah kebiasaan dalam obrolan, baik itu dalam pertemuan sehari-hari atau resmi sekalipun. Bodor sendiri sepertinya sudah mendarah daging dalam masyarakat Sunda, sehingga bodor  merupakan salah satu ciri khas dalam masyarakat Sunda yang mempunyai sifat humoris.
Sifat humoris dari masyarakat Sunda, tercermin dalam cerita berbagai cerita sastra daerahnya. Cerita Si Kabayan, tokoh Ki Lengser dalam berbagai cerita pantun, dan tokoh Cepot, Dawala, dan Gareng dalam cerita wayang golek. Semua itu merupakan gambaran tentang salah satu segi manusia sunda yang bersifat humoris dan penggembira.

·         1. Si Kabayan
Si Kabayan merupakan tokoh imajinatif dari budaya masyarakat Sunda, tokohnya dianggap lucu, polos, tapi sekaligus cerdas. Cerita-cerita lucu mengenai Si Kabayan di masyarakat Sunda dituturkan turun temurun baik secara lisan, tulisan, dan drama sejak abad 19 sampai sekarang. Seluruh cerita Si Kabayan juga menggambarkan kehidupan sehari-hari masyarakat Sunda yang terus berkembang sesuai zaman.

·         2. Ki Lengser
Ki Lengser merupakan tokoh pengiring protagonis dalam cerita pantun Sunda. Lengser sebenarnya bukan nama diri seseorang, tetapi nama jabatan dalam keraton yang terdapat dalam cerita pantun Sunda. Gambaran Ki Lengser selalu tetap, yakni abdi raja yang sudah lanjut usia. Itu sebabnya ia sering disebut Ua Lengser (ua dalam bahasa Sunda berarti saudara tua ayah/ibu). Kedudukan Ki Lengser sejajar dengan tokoh Semar dalam cerita wayang golek, yakni sebagai pawongan (penjaga) ksatria sekaligus penjaga kebenaran dan keselamatan negara. Karena tugasnya berat ia sering disebut juga Batara Ua Lengser. Namun ia lebih sering digambarkan seorang yang lucu dan banyak tingkah.

·         3. Cepot, Dawala, Gareng
 Sastrajingga alias Cepot adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Semar Badranaya dan Sutiragen (sebetulnya Cepot lahir dari saung). Sastra artinya tulisan, sedangkan Jingga adalah gambaran tokoh wayang yang mempunyai kelakuan buruk ibarat seorang siswa yang memiliki lapor merah. Meski demikian kehadirannya selalu dinanti-nanti. Wataknya humoris, suka banyol ngabodor, tidak peduli kepada siapa pun baik ksatria, raja maupun para dewa. Kendati begitu lewat humornya dia tetap memberi nasehat petuah dan kritik.
Biasanya seorang dalang menampilkan si Cepot beserta tokoh kocak lainnya disela-sela cerita sedang tegang, atau di tengah-tengah cerita. Dengan pembawaan watak yang kocak dan lucu si Cepot selalu menemani para ksatria, terutama Arjuna dan Ksatria Madukara. Oleh dalang, si Cepot digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan bebas bagi para penonton baik itu nasihat, kritik maupun petuah dan sindiran yang dikemas dalam guyonan. Dalam berkelahi atau perang, Sastrajingga biasa ikut dengan bersenjata bedog alias golok. Dalam pengembangannya Cepot juga punya senjata panah. Para denawa (raksasa/buta) biasa jadi lawannya.
    Sastrajingga memiliki dua orang adik yang tidak kalah kocak dengan kakaknya. Mereka adalah Dawala dan Gareng. Dawala adalah tokoh pewayangan yang digambarkan memiliki hidung mancung, muka bersih serta memiliki sifat sabar, setia dan penurut. Kelemahan yang ditonjolkan pada tokoh ini adalah kurang cerdas dan tidak begitu terampil. Adik kedua Astrajingga setelah si Dawala adalah  Gareng. Ia pun memiliki karakter lucu dan kocak. Dalam tokoh pewayangan Gareng adalah anak bungsu dari Semar.
     Berdasarkan segi itulah maka ada orang yang berpendapat bahwa masyarakat Sunda itu bersifat penggembira dan suka tertawa. Mereka (Si Kabayan, Ki Lengser, Cepot, Dawala, dan Gareng) bukanlah manusia yang mudah larut dalam duka cita dan kemurungan.

Sesebutan Usum-Usuman

Usum mamaréng = usum mimiti rék ngijih. Usum ngijih = usum hujan, ngecrek saban poé. Usum dangdarat = usum panyelang antara usum hujan je...