17 September 2014

Sunda, Diantara Norma Budaya dan Budaya Politik



Mengutip sebuah pernyataan dari Arnold Toynbee, bahwa suatu entitas kebudayaan akan tetap langgeng dan hidup bila mampu menjawab tantangan yang dihadapinya. Sunda sebagai salah satu budaya besar di Indonesia memiliki seperangakat niali-nilai atau norma-norma dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari mulai norma keagamaan, ekonomi, sosial, hukum, dan politik, sampai pada persoalan kehidupan yang lainnya. Bidang politik khususnya, Sunda pun mempunyai berbagai norma sebagai bagian dari warisan karuhun (leluhur). Beberapa tokoh dari etnis Sunda yang pernah tercatat sejarah saat menjadi politisi dan berhasil mensejahterakan rakyat, aman dari ancaman. Pangeran Kornel, Dipati Ukur, Oto Iskandardinata, dan yang lainnya merupakan tokoh-tokoh Sunda yang telah menjadikan norma budaya lokal sebagai fondasi dari perjuangannya.
Dari kutipan pernyataan Arnold Toynbee tersebut, para “ahli fungsionalis” berpendapat bahwa kebudayaan akan langgeng apabila kebudyaan tersebut dapat diaplikasikan (difungsikan) terhadap lingkungannya. Sebaliknya, kebudayaan akan mengalami krisis jika tidak mampu fungsional dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Dizaman globalisasi ini, kita dihadapkan pada situasi yang kompleks. Wajar bila berbagai kebudayaan masuk ke Nusantara, sekaligus menjadi tantangan terhadap budaya lokal. Modernisasi dan globalisasi merupakan rangkaian kebudayaan yang sengaja masuk karena kebutuhan zaman, sekaligus mempengaruhi kebudayaan lokal.
Kondisi tersebut mempengaruhi tatanan kehidupan disegala bidang, tak terkecuali dibidang politik. Kehidupan politik di negara kita dipenuhi dengan gagasan-gagasan pemikiran sekuler. Arena pertandingan politik pun telah melupakan seluruh fondasi ketimuran yang kita miliki. Warisan budaya lokal yang sarat dengan nilai dan norma menjadi punah atau dilupakan para politisi di Indonesia. Suasana ini berimbas terhadap para politisi lokal, termasuk para politisi yang ber-etnis Sunda. Padahal didalam budaya Sunda terdapat berbagai norma yang dapat dijadikan referensi sebagai landasan dalam aktivitas politiknya.
Silih asah, Silih asih, dan,Silih asuh merupakan ungkapan Sunda yang menjadi warisan budaya Sunda dalam menata kehidupan, supaya tercipta kehidupan yang damai, tentram, dan aman. Selain daripada ungkapan tersebut ungakapan buruk-buruk papan jati atau pamali tarung jeung dulur, pamali bengkah jeung baraya merupakan ungkapan yang menata keakraban sosial diantara saudara. Masih banyak lagi warisan budaya Sunda yang semestinya menjadi dasar gerak langkah orang Sunda dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya termasuk dalm berpolitik. Kita harus cageur, bageur, pinter, singer, bener, teuneung, ludeung. Sangat ironis memang bagi para politisi yang kaya akan nilai-nilai budaya lokal, khususnya politisi Sunda, jauh dari akar budaya yang seharusnya.
Sosialisasi kembali warisan budaya lokal, baik di tingkat para inohong (tokoh) maupun masyarakat menengah kebawah merupakan suatu keharusan. Kemudian sosialisasi harus dilakukan  institusi-institusi yang ada, baik pemerintahan ataupun nonpemerintahan. Harapannya dengan mensosialisasikan dan mengfungsionalkan nilai-nilai budaya Sunda disetiap lapisan atau struktur sosial, khususnya yang dilakukan para politisi Sunda akan membantu terhadap pencegahan punahnya budaya Sunda dan sekaligus berdampak pada tatanan sosial nusantara menjadi semakin jelas. Sehingga krisis poltik dan krisis kebudayaan lokal dapat segera diantisipasi.

Sesebutan Usum-Usuman

Usum mamaréng = usum mimiti rék ngijih. Usum ngijih = usum hujan, ngecrek saban poé. Usum dangdarat = usum panyelang antara usum hujan je...