Jauh
sebelum masuk masa sejarah di Tanah Sunda sudah ada kehidupan manusia. Itu
terbukti dengan ditemukannya benda-benda prasejarah di beberapa situs, antara
lain di Gua Pawon (Citatah, Kab. Bandung Barat), pesisir utara antara Tangerang
– Rengasdengklok, Kelapadua (Jakarta), Kampung Muara dan Pasir Angin (Bogor),
Dataran Tinggi Bandung, Lembah Leles, dan Kuningan. Ada pula yang hingga kini
masih menjadi penelitian para arkeolog adalah situs Gunung Padang di Kabupaten
Cianjur.
Satu
hal yang menarik perhatian dari tempat-tempat tersebut ialah didapatkannya
tradisi tua yang berbaur dengan tradisi muda. Benda – benda prasejarah yang
dimaksud antara lain berupa alat perkakas kehidupan sehari-hari yang terbuat
dari batu, perunggu, besi, dan tanah liat (beliung persegi, kapak corong, ujung
tombak, mata panah, batu asah, periuk, dsb.); perhiasan yang terbuat dari batu,
perunggu, kaca, dan logam (gelang, manik-manik); dan alat upacara keagamaan yang
terbuat dari batu dan perunggu (menhir, batu dakon, dolmen, susunan batu besar,
dsb.). Menurut wujud,bentuk, dan lokasinya, jelas benda – benda tersebut
merupakan hasil pembuatan manusia, bukan ciptaan alam. (Ekadjati, 1984).
Adapun
setelah jaman prasejarah tersebut, masa awal masuknya sejarah di tanah Sunda
merupakan masa-masa berdirinya sebuah kerajaan pertama yang ada di tanah Sunda sendiri.
Berikut kerajaan-kerajaan yang pernah ada diawal-awal masa sejarah Sunda:
1.
Kerajaan Salakanagara
Berdasarkan
naskah Wangsakerta (Pustaka Rajyarajya i Bhumi
Nusantara –yang disusun oleh sebuah panitia dan diketuai oleh pangeran
Wangsakerta--), Salakanagara diperkirakan merupakan kerajaan paling awal di
Nusantara. Para sejarawan seperti Husein Djajadiningrat, TB . H. Ahmad, Hasan
Ma’arif Ambary, Halwany Michrob, dan yang lainnya memperkirakan bahwa Banten
mempunyai nilai-nilai sejarah yang tinggi. Banyak sudah temuan-temuan mereka
yang sudah disusun kedalam tulisan-tulisan, ulasan-ulasan maupun dalam buku.
Selain itu nama-nama seperti Ayatrohaedi, Saleh Danasamita, John Miksic,
Takashi, Atja, Wishnu Handoko, dll. Yang menambah wawasan mengenai Banten
menjadi tambah luas dan terbuka dengan karya-karyanya baik dalam bahasa
Indonesia maupun dalam bahasa Inggris.
Salakanagara
didirikan oleh Dewawarman yang merupakan keturunan Pallawa, Bharata (India). Ia
adalah seorang duta keliling, pedagang, sekaligus perantau yang akhirnya
menetap dan menikahi putri penghulu disana. Sementara tokoh awal yang berkuasa
disana adalah Aki Tirem. Kota tersebut, konon merupakan kota Argyre yang disebut Ptolemeus ditahun
150, yang terletak di wilayah Teluk Lada Pandeglang. Aki Tirem sendiri
merupakan seorang penghulu dan penguasa kampung setempat yang akhirnya menjadi
mertua Dewawarman ketika seorang puteri Sang Aki Luhur Mulya yang bernama Dewi
Pwahaci Larasati diperistri oleh Dewawarman. Hal tersebut membuat semua
pengikut Dewawarman menikahi gadis setempat dan enggan pulang ke kampung
halamannya.
Ketika
Aki Tirem meninggal, Dewawarman menerima tongkat kekuasaan. Tahun 130 Masehi ia
kemudian mendirikan sebuah kerajaan dengan nama Salakanagara, yang berarti
Negeri Perak dan beribu kota di Rajatapura. Ia menjadi raja pertama dengan
gelar Prabu Darmalokapala Dewawarman Aji Raksa Gapura Sagara. Beberapa kerajaan
kecil di sekitarnya menjadi daerah kekuasaannya, antara lain kerajaan Agnynusa
(Negara Api) yang terletak di pulau Krakatau.
Rajatapura
merupakan ibu kota Salakanagara sampai tahu 362 Masehi dan menjadi pusat
pemerintahan raja Dewawarman I hingga Dewawarman VIII. Kerajaan ini berdiri
selama 232 tahun, tepatnya dari tahun 130 sampai tahun 362 Masehi. Sementara
Dewawarman I hanya berkuasa selama 38 tahun dan digantikan anaknya yang menjadi
Dewawarman II dengan gelar Prabu Digwijayakasa Dewawarman Putra. Prabu
Dharmawirya tercatat sebagai Raja Dewawarman VIII atau raja terakhir
Salakanagara hingga tahun 363 Masehi, dan sejak itu kerajaan ini menjadi
kerajaan yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Tarumanagara yang didirikan
tahun 358 Masehi oleh Maharesi dari Calankayana, India yang bernama
Jayasinghawarman. Sementara pada masa kepemimpinanan Raja Dewawarman VII
Salakanagara merupakan kerajaan yang makmur dan sentosa, keadaan ekonomi
penduduknya sangat baik, dan kehidupan beragama sangat harmonis.
2.
Kerajaan Tarumanagara
Menurut
sejarahnya, kerajaan Tarumanagara dapat diketahui melalui berbagai sumber, baik
itu di dalam negeri ataupun di luar negeri. Sumber dalam negeri dapat dibedakan
atas sumber yang berupa tulisan (prasasti), benda (arca), dan tradisi lisan.
Sedangkan sumber luar negeri berupa berita-berita yang berasal dari negeri Cina
dan India.(Ekadjati, 1984). Sekitar ada 8 buah prasasti yang memberikan
keterangan tentang adanya kerajaan ini, 7 diantaranya ditemukan ditanah Sunda
sendiri. Dalam catatannya Ekadjati menjelaskan ketujuh prasasti tersebut
tersebar di daerah Jakarta (1 buah), Bogor (5 buah), dan Banten (1 buah). Dan
sebuah prasasti peninggalan kerajaan Sriwijaya yang ditemukan di Kotakapur,
Pulau Bangka. Kecuali yang ditemukan di Kotakapur prasasti tersebut ditulis
dalam bahasa Malayu kuna dan huruf Pranagari juga prasasti Muara dan Pasir Awi
yang belum terbaca, prasasti-prasasti lainnya (Tugu, Ciaruteun, Kebonkopi,
Jambu) ditulis dengan huruf Palawa.
Dari
prasasti-prasasti tersebut diperoleh keterangan bahwa kerajaan ini bernama
Tarumanagara dan nama salah seorang rajanya yaitu Purnawarman. Selain itu
disebutkan juga dua nama yang kemungkinan besar masih raja Tarumanagara, yaitu
Rajadhiraja Guru dan Rajarsi.
Sementara
menurut berita dari Cina, Tarumanagara (To-lo-mo Ho-ling, dalam bahasa Cina)
merupakan penghasil cula badak, gading gajah, kulit penyu, arak yang dibuat
dari mayang kelapa, mas, dan perak. Itu semua merupakan barang dagangan yang
diperuntukan untuk ekspor ke luar negeri pada masa itu. Di masa tersebut di
tempat-tempat penemuan prasasti didapatkan juga tembikar buatan Cina. Dalam
prasasti Tugu pun tertulis bahwa
pernah dikeluarkan hadiah sebanyak 1000 ekor sapi. Dengan demikian, maka mata
pencaharian penduduk kerajaan ini terdiri atas usaha pertanian dengan cara
berladang, perburuan, perikanan, peternakan, pertambangan, dan perdagangan.
Belum
dapat dipastikan pula kapan Tarumanagara berakhir dan turun dari panggung
sejarah. Tapi terlihat nyata bahwa kerajaan ini telah hidup sekitar tahun 358
Masehi dan diperkirakan pada abad ke-7 Masehi masih tetap hidup. Ibukota
Tarumanagara sendiri diperkirakan terletak di daerah Sundapura atau tepi sungai
antara Bekasi – Karawang sekarang.
3.
Kerajaan Sunda
Menurunnya
masa kerajaan Tarumanagara menjelang akhir abad ke-7 M atau sekira tahun 669
Masehi, Tarusbawa yang berasal dari kerajaan Sunda menggantikan Linggawarman
yang merupakan mertuanya sekaligus raja terakhir dari Tarumanagara. Raja
Tarusbawa ingin sekali mengembalikan kembali kejayaan Tarumanagara dibawah
pimpinan Purnawarman. Untuk itu raja Tarusbawa mengganti nama kerajaan
Tarumanagara menjadi kerajaan Sunda pada tahun 670 M. Namun kerajaan kecil yang
bernama kerajaan Galuh yang dahulunya merupakan daerah kekuasaan kerajaan
Tarumanagara berniat memisahkan diri dari kekuasaan raja Tarusbawa.
Keinginan
raja Wretikandayun yang saat itu memimpin kerajaan Galuh didukung oleh kerajaan
Kalingga yang berada disekitar Jawa Tengah. Dukungan tersebut terjadi karena
putra mahkota Galuh yaitu Mandiminyak memperisteri Parwati, puteri dari
Maharani Shima dari Kalingga. Untuk menghindari perang saudara, maka raja
Tarusbawa menerima tuntutan Wretikandayun, dan melepas kerajaan Galuh. Maka
pada masa tersebut (670 m), kerajaan Tarumanagara terbagi menjadi dua wilayah,
yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh.
Sesudah
itu, menurut naskah Carita Parahyangan (fragmen
Kropak 406) raja Tarusbawa mendirikan
ibu kota kerajaan yang baru yang terletak di dekat hulu sungai Cipakancilan.
Dalam Carita Parahyangan pula raja
Tarusbawa mempunyai gelar Tohaan di Sunda
(Raja di Sunda). Raja Tarusbawa merupakan cikal bakal raja-raja di kerajaan Sunda
dan raja Tarusbawa memerintah hingga tahun 732 M.
Namun
menurut DR. Edi S. Ekadjati. sejarah Kerajaan Sunda dimulai dari tokoh Sanjaya.
Dalam Carita Prahyangan, Sanjaya
adalah Bratasenawa, yang merupakan raja ketiga kerajaan Galuh yang merupakan
teman dekat Tarusbawa, raja Sunda saat itu. Setelah mengalahkan Rahyang
Purbasora yang merebut kekuasaan dari tangan ayahnya, Sanjaya dapat menaiki
tahta di Galuh. Menurut prasasti Canggal, Sanjaya memerintah sekira tahun 732
M. Berdasarkan naskah Kropak 406 dan Carita Parahyangan, Sanjaya merupakan
menantu raja Tarusbawa. Ketika raja Tarusbawa wafat, Sanjaya menerima tahta
atas kekuasaan Kerajaan Sunda dari mertuanya. Sanjaya sendiri bergelar Maharaja
Harisdarma. Sejak saat itu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh kembali bergabung
dan lebih dikenal dengan nama Kerajaan Sunda. Dalam perkembangannya Sanjaya
lebih memusatkan kedudukan di Galuh.
Sepanjang
sejarahnya, Kerajaan Sunda mengalami pemindahan ibu kota bekali-kali, dimulai
ketika Sanjaya berkuasa ibu kota Kerajaan ini berada di daerah Galuh kemudian
pada tahun 1030 M masa pemerintahan Sri Jayabhupati, ibu kota Kerajaan Sunda
pindah ke Pakwan Pajajaran (sekarang Bogor). Sekira 3 abad kemudian pusat
kerajaan kembali ke Galuh, tepatnya didaerah Kawali (sekitar 15 km sebelah
utara Ciamis sekarang). Itu terdapat dalam sebuah prasasti yang ditemukan di
Astana gede. Dalam prasasti yang dinamai Prasasti Kawali 1 ini, dikemukakan
bahwa Prabu Wastukancana yang bertahta di Kawali membangun dan memperindah
kembali keraton Surawisesa dan membuat parit di sekeliling ibu kota.
Prabu
Niskala Wastukancana merupakan putera dari Prabu Lingga Buana (1357) yang gugur
di Bubat. Prabu Lingga Buana gugur tatkala sedang mengantarkan puterinya yang
akan dinikahi oleh Hayam Wuruk, raja dari Majapahit. Namun setelah gugurnya
Prabu Lingga Buana, Hyang Bunisora (paman Prabu Wastukancana) menduduki tahta
kerajaan sebagai wakil dari Prabu Wastukancana, karena pada saat itu Prabu Wastukancana masih berusia 9 tahun.
Kemudian pada tahun 1371 Prabu Wastukancana mulai menduduki tahta dan
menjalankan pemerintahan sendiri, sebab Hyang Bunisora meninggal dunia.
Dalam
Carita Parahiyangan Prabu
Wastukancana menerapkan berbagai aturan, diantaranya sang rama tenang mengurus
bahan pangan, sang resi tenang mengurus kependetaan (keagamaan) dan kebiasaan
leluhurnya, sang disti tenang mengolah bahan obat-obatan. Raja teguh dalam
menegakkan hukum, membagikan lahan hutan dan sekitarnya, supaya tidak terjadi
saling menggugat antara cacah
(golongan masyarakat bawah/kecil) dan pembesar. Sang tarahan tenang
berlayar dan berniaga memenuhi aturan
raja. Disebutkan disini dua nama aturan raja: Sanghyang Linggawesi dan Sanghyang
Watangageung. (Ekadjati, Majalah Cupumanik
No. 31).
Sepeninggal
prabu Wastukancana pada 1475, Kerajaan Sunda dipimpin oleh Rahyang Ningrat
Kancana. Ningrat Kancana memimpin kerajaan hanya dalam kurun waktu 7 tahun
(hingga tahun 1482), karena salah dalam bertindak dan jatuh cinta kepada wanita
terlarang dari luar.
Selanjutnya
kerajaan Sunda diteruskan oleh Prabu Siliwangi --raja yang dikenal oleh orang
Sunda saat ini-- atau bernama Prabu Sri
Baduga Maharaja atau Prabu Ratu Jayadewata, yang merupakan putera Tohaan di Galuh.
Dalam prasasti Batutulis, Prabu Jayadewata ialah raja Pakwan Pajajaran yang
memariti ibu kota Pakwan. Selain itu Prabu Jayadewata sebelumnya telah
melakukan pemindahan ibu kota dari Kawali ke Pakwan Pajajaran. Di Pakwan, Prabu
Jayadewata menempati keraton yang dinamai Sri Bima Untarayana Madura Suradipati.
Selain
memprioritaskan tradisi masyarakatnya dalam hal bercocok tanam, pemindahan
ibukota yang dilakukan oleh Prabu Jayadewata dimaksudkan juga untuk
mengembangkan perniagaan. Menurut DR. Edi S. Ekadjati, perniagaan di kerajaan
Sunda saat itu maju cukup pesat dengan beberapa kota pelabuhan diantaranya;
Banten, Pontang, Cikande, Tangerang, Sunda Kelapa, Karawang, Cirebon, Japura,
dan Cimanuk. Lahan pertanian yang paling luas adalah berupa huma (ladang) yang menghasilkan beras
yang sangat melimpah sehingga kebutuhan rakyat dalam negeri terpenuhi,
sementara sisanya dapat diekspor ke luar negeri. Selain itu, perkebunan merica
juga terbilang luas di sejumlah hutan wilayah kerajaan. Hasilnya ada yang
dijual hingga ke Eropa dan Arab. Adapun daripada itu, kerajaan Sunda
menghasilkan gula aren, asam, sayur-mayur, emas, kayu, terasi, dan
bermacam-macam bahan makanan lainnya. Ada juga dari mancanegara kerajaan Sunda
mendatangkan pakaian dari sutera, perhiasan, garam, gerabah, dan lain
sebagainya.
Dalam
Carita Parahyangan digambarkan bahwa
Prabu Jayadewata menjalankan pemerinyahannya berdasarkan kitab-kitab hukum yang
berlaku, sehingga terciptalah kerajaan yang tata
tentrem kerta raharja (aman dan sentosa). Berdasarkan prasasti Batutulis,
Sri Baduga Maharaja merupakan raja Sunda yang memiliki banyak jasa,
diantaranya; membuat tanda peringatan gugunungan, jalan, hutan larangan, telaga
(Sanghyang Talaga) Rena Mahawijaya. Sri Baduga Maharaja (Prabu Jayadewata)
memimpin kerajaan Sunda selama 39 tahun (hingga tahun 1521). Dalam pemerintahan
Prabu Jayadewata pula agama Islam mulai datang melalui jalur perniagaan yang
dibawa oleh saudagar-saudagar muslim.
Orang
Portugis bernama Tome Pires yang menyusuri pesisir utara pulau Jawa pada 1513,
menyaksikan adanya penduduk di kota pelabuhan Cimanuk (batas timur kerajaan
Sunda) yang sudah memeluk agama Islam. Adapun masyarakat Sunda yang sudah
beralih agama digambarkan pula dalam Carita
Parahyangan. Pada saat itu masyarakat yang merasa tidak aman, dikarenakan
mereka melanggar Sanghyang Siksa.
Walaupun
pengaruh Islam belum sampai ke pusat kerajaan, tetapi Prabu Jayadewata sudah
bersiap untuk menghadapinya. Raja mulai merintis hubungan diplomasi dengan
Portugis yang berkedudukan di Malaka. Dengan didahului oleh utusan dari
kerajaan ke Malaka pada 1512, kemudian pada tahun 1522 di Pakwan terjadi
kesepakatan antara keduanya yang menyepakati kerjasama dalam bidang keamanan
dan bidang ekonomi. Pada waktu itu Prabu Jayadewata telah digantikan oleh puteranya
yaitu Prabu Surawisesa (1521-1535).
Namun
usaha-usaha raja Sunda tersebut tidak dapat menolong negaranya, karena keadaan
tidak sesuai yang diharapkan. Pengaruh Islam semakin kuat, terlebih setelah
Banten dan Sunda Kelapa dapat diduduki oleh pasukan Islam dari Cirebon dan
Demak pada 1526 dan 1527. Sejak saat itu jalur perdagangan yang dikuasai
kerajaan Sunda praktis terputus. Keadaan tersebut mengakibatkan pusat kerajaan
menjadi terisolir dan tidak bisa lagi berhubungan dengan dunia luar. Terlebih
pada tahun 1527, pasukan Portugis yang datang ke pelabuhan Sunda Kelapa
berhasil di pukul mundur oleh armada Islam.
Desakkan
pihak luar terus menekan pihak kerajaan, begitupun tekanan dari dalam negeri
mulai bermunculan. Raja-raja Sunda selanjutnya tidak memiliki pribadi yang
kuat, sikap mementingkan diri sendiri, dan hampir tidak memperhatikan
kesejahteraan rakyatnya. Prabu Ratudewata (1535-1543) memilih menjadi raja
pendeta daripada menghadapi kekacauan dalam negeri. Sang Ratu Saksi (1543-1551)
memiliki sikap yang kejam dan berperangai rendah. Ia sering membunuh orang tak berdosa, merampas harta orang
seenaknya, tidak mengormati generasi tua, menghina kaum pendeta, dan sering
main perempuan. Penggantinya, Tohaan di Majaya (1551-1567), ia lebih suka
mempeindah keraton, mabuk-mabukan, dan berfoya-foya daripada menjalankan tugas
sebagai raja. Karena itu pada tahun 1579, pasukan Banten melancarkan serangan
ke ibukota raja Sunda terakhir yaitu Nusiya Mulya tidak berdaya menahan
serangan tersebut. Hingga akhirnya kerajaan Sunda jatuh dan dikuasai Islam.
Harrah's Casino Site | Live Dealer - Lucky Club
ReplyDeleteHarrah's has luckyclub over 20 table games, a sportsbook, and an express check-in for every $50 deposit! The casino also accepts slots, live dealer games,