07 April 2015

Sejarah Perkembangan Sunda Dalam Tiga Kerajaan

Jauh sebelum masuk masa sejarah di Tanah Sunda sudah ada kehidupan manusia. Itu terbukti dengan ditemukannya benda-benda prasejarah di beberapa situs, antara lain di Gua Pawon (Citatah, Kab. Bandung Barat), pesisir utara antara Tangerang – Rengasdengklok, Kelapadua (Jakarta), Kampung Muara dan Pasir Angin (Bogor), Dataran Tinggi Bandung, Lembah Leles, dan Kuningan. Ada pula yang hingga kini masih menjadi penelitian para arkeolog adalah situs Gunung Padang di Kabupaten Cianjur.
Satu hal yang menarik perhatian dari tempat-tempat tersebut ialah didapatkannya tradisi tua yang berbaur dengan tradisi muda. Benda – benda prasejarah yang dimaksud antara lain berupa alat perkakas kehidupan sehari-hari yang terbuat dari batu, perunggu, besi, dan tanah liat (beliung persegi, kapak corong, ujung tombak, mata panah, batu asah, periuk, dsb.); perhiasan yang terbuat dari batu, perunggu, kaca, dan logam (gelang, manik-manik); dan alat upacara keagamaan yang terbuat dari batu dan perunggu (menhir, batu dakon, dolmen, susunan batu besar, dsb.). Menurut wujud,bentuk, dan lokasinya, jelas benda – benda tersebut merupakan hasil pembuatan manusia, bukan ciptaan alam. (Ekadjati, 1984).
Adapun setelah jaman prasejarah tersebut, masa awal masuknya sejarah di tanah Sunda merupakan masa-masa berdirinya sebuah kerajaan pertama yang ada di tanah Sunda sendiri. Berikut kerajaan-kerajaan yang pernah ada diawal-awal masa sejarah Sunda:
1.        Kerajaan Salakanagara
Berdasarkan naskah Wangsakerta (Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara –yang disusun oleh sebuah panitia dan diketuai oleh pangeran Wangsakerta--), Salakanagara diperkirakan merupakan kerajaan paling awal di Nusantara. Para sejarawan seperti Husein Djajadiningrat, TB . H. Ahmad, Hasan Ma’arif Ambary, Halwany Michrob, dan yang lainnya memperkirakan bahwa Banten mempunyai nilai-nilai sejarah yang tinggi. Banyak sudah temuan-temuan mereka yang sudah disusun kedalam tulisan-tulisan, ulasan-ulasan maupun dalam buku. Selain itu nama-nama seperti Ayatrohaedi, Saleh Danasamita, John Miksic, Takashi, Atja, Wishnu Handoko, dll. Yang menambah wawasan mengenai Banten menjadi tambah luas dan terbuka dengan karya-karyanya baik dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa Inggris.
Salakanagara didirikan oleh Dewawarman yang merupakan keturunan Pallawa, Bharata (India). Ia adalah seorang duta keliling, pedagang, sekaligus perantau yang akhirnya menetap dan menikahi putri penghulu disana. Sementara tokoh awal yang berkuasa disana adalah Aki Tirem. Kota tersebut, konon merupakan kota Argyre yang disebut Ptolemeus ditahun 150, yang terletak di wilayah Teluk Lada Pandeglang. Aki Tirem sendiri merupakan seorang penghulu dan penguasa kampung setempat yang akhirnya menjadi mertua Dewawarman ketika seorang puteri Sang Aki Luhur Mulya yang bernama Dewi Pwahaci Larasati diperistri oleh Dewawarman. Hal tersebut membuat semua pengikut Dewawarman menikahi gadis setempat dan enggan pulang ke kampung halamannya.
Ketika Aki Tirem meninggal, Dewawarman menerima tongkat kekuasaan. Tahun 130 Masehi ia kemudian mendirikan sebuah kerajaan dengan nama Salakanagara, yang berarti Negeri Perak dan beribu kota di Rajatapura. Ia menjadi raja pertama dengan gelar Prabu Darmalokapala Dewawarman Aji Raksa Gapura Sagara. Beberapa kerajaan kecil di sekitarnya menjadi daerah kekuasaannya, antara lain kerajaan Agnynusa (Negara Api) yang terletak di pulau Krakatau.
Rajatapura merupakan ibu kota Salakanagara sampai tahu 362 Masehi dan menjadi pusat pemerintahan raja Dewawarman I hingga Dewawarman VIII. Kerajaan ini berdiri selama 232 tahun, tepatnya dari tahun 130 sampai tahun 362 Masehi. Sementara Dewawarman I hanya berkuasa selama 38 tahun dan digantikan anaknya yang menjadi Dewawarman II dengan gelar Prabu Digwijayakasa Dewawarman Putra. Prabu Dharmawirya tercatat sebagai Raja Dewawarman VIII atau raja terakhir Salakanagara hingga tahun 363 Masehi, dan sejak itu kerajaan ini menjadi kerajaan yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Tarumanagara yang didirikan tahun 358 Masehi oleh Maharesi dari Calankayana, India yang bernama Jayasinghawarman. Sementara pada masa kepemimpinanan Raja Dewawarman VII Salakanagara merupakan kerajaan yang makmur dan sentosa, keadaan ekonomi penduduknya sangat baik, dan kehidupan beragama sangat harmonis.
2.        Kerajaan Tarumanagara
Menurut sejarahnya, kerajaan Tarumanagara dapat diketahui melalui berbagai sumber, baik itu di dalam negeri ataupun di luar negeri. Sumber dalam negeri dapat dibedakan atas sumber yang berupa tulisan (prasasti), benda (arca), dan tradisi lisan. Sedangkan sumber luar negeri berupa berita-berita yang berasal dari negeri Cina dan India.(Ekadjati, 1984). Sekitar ada 8 buah prasasti yang memberikan keterangan tentang adanya kerajaan ini, 7 diantaranya ditemukan ditanah Sunda sendiri. Dalam catatannya Ekadjati menjelaskan ketujuh prasasti tersebut tersebar di daerah Jakarta (1 buah), Bogor (5 buah), dan Banten (1 buah). Dan sebuah prasasti peninggalan kerajaan Sriwijaya yang ditemukan di Kotakapur, Pulau Bangka. Kecuali yang ditemukan di Kotakapur prasasti tersebut ditulis dalam bahasa Malayu kuna dan huruf Pranagari juga prasasti Muara dan Pasir Awi yang belum terbaca, prasasti-prasasti lainnya (Tugu, Ciaruteun, Kebonkopi, Jambu) ditulis dengan huruf Palawa.
Dari prasasti-prasasti tersebut diperoleh keterangan bahwa kerajaan ini bernama Tarumanagara dan nama salah seorang rajanya yaitu Purnawarman. Selain itu disebutkan juga dua nama yang kemungkinan besar masih raja Tarumanagara, yaitu Rajadhiraja Guru dan Rajarsi.
Sementara menurut berita dari Cina, Tarumanagara (To-lo-mo Ho-ling, dalam bahasa Cina) merupakan penghasil cula badak, gading gajah, kulit penyu, arak yang dibuat dari mayang kelapa, mas, dan perak. Itu semua merupakan barang dagangan yang diperuntukan untuk ekspor ke luar negeri pada masa itu. Di masa tersebut di tempat-tempat penemuan prasasti didapatkan juga tembikar buatan Cina. Dalam prasasti Tugu pun tertulis bahwa pernah dikeluarkan hadiah sebanyak 1000 ekor sapi. Dengan demikian, maka mata pencaharian penduduk kerajaan ini terdiri atas usaha pertanian dengan cara berladang, perburuan, perikanan, peternakan, pertambangan, dan perdagangan.
Belum dapat dipastikan pula kapan Tarumanagara berakhir dan turun dari panggung sejarah. Tapi terlihat nyata bahwa kerajaan ini telah hidup sekitar tahun 358 Masehi dan diperkirakan pada abad ke-7 Masehi masih tetap hidup. Ibukota Tarumanagara sendiri diperkirakan terletak di daerah Sundapura atau tepi sungai antara Bekasi – Karawang sekarang.
3.        Kerajaan Sunda
Menurunnya masa kerajaan Tarumanagara menjelang akhir abad ke-7 M atau sekira tahun 669 Masehi, Tarusbawa yang berasal dari kerajaan Sunda menggantikan Linggawarman yang merupakan mertuanya sekaligus raja terakhir dari Tarumanagara. Raja Tarusbawa ingin sekali mengembalikan kembali kejayaan Tarumanagara dibawah pimpinan Purnawarman. Untuk itu raja Tarusbawa mengganti nama kerajaan Tarumanagara menjadi kerajaan Sunda pada tahun 670 M. Namun kerajaan kecil yang bernama kerajaan Galuh yang dahulunya merupakan daerah kekuasaan kerajaan Tarumanagara berniat memisahkan diri dari kekuasaan raja Tarusbawa.
Keinginan raja Wretikandayun yang saat itu memimpin kerajaan Galuh didukung oleh kerajaan Kalingga yang berada disekitar Jawa Tengah. Dukungan tersebut terjadi karena putra mahkota Galuh yaitu Mandiminyak memperisteri Parwati, puteri dari Maharani Shima dari Kalingga. Untuk menghindari perang saudara, maka raja Tarusbawa menerima tuntutan Wretikandayun, dan melepas kerajaan Galuh. Maka pada masa tersebut (670 m), kerajaan Tarumanagara terbagi menjadi dua wilayah, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh.
Sesudah itu, menurut naskah Carita Parahyangan (fragmen Kropak 406) raja Tarusbawa mendirikan ibu kota kerajaan yang baru yang terletak di dekat hulu sungai Cipakancilan. Dalam Carita Parahyangan pula raja Tarusbawa mempunyai gelar Tohaan di Sunda (Raja di Sunda). Raja Tarusbawa merupakan cikal bakal raja-raja di kerajaan Sunda dan raja Tarusbawa memerintah hingga tahun 732 M.
Namun menurut DR. Edi S. Ekadjati. sejarah Kerajaan Sunda dimulai dari tokoh Sanjaya. Dalam Carita Prahyangan, Sanjaya adalah Bratasenawa, yang merupakan raja ketiga kerajaan Galuh yang merupakan teman dekat Tarusbawa, raja Sunda saat itu. Setelah mengalahkan Rahyang Purbasora yang merebut kekuasaan dari tangan ayahnya, Sanjaya dapat menaiki tahta di Galuh. Menurut prasasti Canggal, Sanjaya memerintah sekira tahun 732 M. Berdasarkan naskah Kropak 406 dan Carita Parahyangan, Sanjaya merupakan menantu raja Tarusbawa. Ketika raja Tarusbawa wafat, Sanjaya menerima tahta atas kekuasaan Kerajaan Sunda dari mertuanya. Sanjaya sendiri bergelar Maharaja Harisdarma. Sejak saat itu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh kembali bergabung dan lebih dikenal dengan nama Kerajaan Sunda. Dalam perkembangannya Sanjaya lebih memusatkan kedudukan di Galuh.
Sepanjang sejarahnya, Kerajaan Sunda mengalami pemindahan ibu kota bekali-kali, dimulai ketika Sanjaya berkuasa ibu kota Kerajaan ini berada di daerah Galuh kemudian pada tahun 1030 M masa pemerintahan Sri Jayabhupati, ibu kota Kerajaan Sunda pindah ke Pakwan Pajajaran (sekarang Bogor). Sekira 3 abad kemudian pusat kerajaan kembali ke Galuh, tepatnya didaerah Kawali (sekitar 15 km sebelah utara Ciamis sekarang). Itu terdapat dalam sebuah prasasti yang ditemukan di Astana gede. Dalam prasasti yang dinamai Prasasti Kawali 1 ini, dikemukakan bahwa Prabu Wastukancana yang bertahta di Kawali membangun dan memperindah kembali keraton Surawisesa dan membuat parit di sekeliling ibu kota.
Prabu Niskala Wastukancana merupakan putera dari Prabu Lingga Buana (1357) yang gugur di Bubat. Prabu Lingga Buana gugur tatkala sedang mengantarkan puterinya yang akan dinikahi oleh Hayam Wuruk, raja dari Majapahit. Namun setelah gugurnya Prabu Lingga Buana, Hyang Bunisora (paman Prabu Wastukancana) menduduki tahta kerajaan sebagai wakil dari Prabu Wastukancana, karena pada saat  itu Prabu Wastukancana masih berusia 9 tahun. Kemudian pada tahun 1371 Prabu Wastukancana mulai menduduki tahta dan menjalankan pemerintahan sendiri, sebab Hyang Bunisora meninggal dunia.
Dalam Carita Parahiyangan Prabu Wastukancana menerapkan berbagai aturan, diantaranya sang rama tenang mengurus bahan pangan, sang resi tenang mengurus kependetaan (keagamaan) dan kebiasaan leluhurnya, sang disti tenang mengolah bahan obat-obatan. Raja teguh dalam menegakkan hukum, membagikan lahan hutan dan sekitarnya, supaya tidak terjadi saling menggugat antara cacah (golongan masyarakat bawah/kecil) dan pembesar. Sang tarahan tenang berlayar  dan berniaga memenuhi aturan raja. Disebutkan disini dua nama aturan raja: Sanghyang Linggawesi dan Sanghyang Watangageung. (Ekadjati, Majalah Cupumanik No. 31).
Sepeninggal prabu Wastukancana pada 1475, Kerajaan Sunda dipimpin oleh Rahyang Ningrat Kancana. Ningrat Kancana memimpin kerajaan hanya dalam kurun waktu 7 tahun (hingga tahun 1482), karena salah dalam bertindak dan jatuh cinta kepada wanita terlarang dari luar.
Selanjutnya kerajaan Sunda diteruskan oleh Prabu Siliwangi --raja yang dikenal oleh orang Sunda saat ini--  atau bernama Prabu Sri Baduga Maharaja atau Prabu Ratu Jayadewata, yang merupakan putera Tohaan di Galuh. Dalam prasasti Batutulis, Prabu Jayadewata ialah raja Pakwan Pajajaran yang memariti ibu kota Pakwan. Selain itu Prabu Jayadewata sebelumnya telah melakukan pemindahan ibu kota dari Kawali ke Pakwan Pajajaran. Di Pakwan, Prabu Jayadewata menempati keraton yang dinamai Sri Bima Untarayana Madura Suradipati.
Selain memprioritaskan tradisi masyarakatnya dalam hal bercocok tanam, pemindahan ibukota yang dilakukan oleh Prabu Jayadewata dimaksudkan juga untuk mengembangkan perniagaan. Menurut DR. Edi S. Ekadjati, perniagaan di kerajaan Sunda saat itu maju cukup pesat dengan beberapa kota pelabuhan diantaranya; Banten, Pontang, Cikande, Tangerang, Sunda Kelapa, Karawang, Cirebon, Japura, dan Cimanuk. Lahan pertanian yang paling luas adalah berupa huma (ladang) yang menghasilkan beras yang sangat melimpah sehingga kebutuhan rakyat dalam negeri terpenuhi, sementara sisanya dapat diekspor ke luar negeri. Selain itu, perkebunan merica juga terbilang luas di sejumlah hutan wilayah kerajaan. Hasilnya ada yang dijual hingga ke Eropa dan Arab. Adapun daripada itu, kerajaan Sunda menghasilkan gula aren, asam, sayur-mayur, emas, kayu, terasi, dan bermacam-macam bahan makanan lainnya. Ada juga dari mancanegara kerajaan Sunda mendatangkan pakaian dari sutera, perhiasan, garam, gerabah, dan lain sebagainya.
Dalam Carita Parahyangan digambarkan bahwa Prabu Jayadewata menjalankan pemerinyahannya berdasarkan kitab-kitab hukum yang berlaku, sehingga terciptalah kerajaan yang tata tentrem kerta raharja (aman dan sentosa). Berdasarkan prasasti Batutulis, Sri Baduga Maharaja merupakan raja Sunda yang memiliki banyak jasa, diantaranya; membuat tanda peringatan gugunungan, jalan, hutan larangan, telaga (Sanghyang Talaga) Rena Mahawijaya. Sri Baduga Maharaja (Prabu Jayadewata) memimpin kerajaan Sunda selama 39 tahun (hingga tahun 1521). Dalam pemerintahan Prabu Jayadewata pula agama Islam mulai datang melalui jalur perniagaan yang dibawa oleh saudagar-saudagar muslim.
Orang Portugis bernama Tome Pires yang menyusuri pesisir utara pulau Jawa pada 1513, menyaksikan adanya penduduk di kota pelabuhan Cimanuk (batas timur kerajaan Sunda) yang sudah memeluk agama Islam. Adapun masyarakat Sunda yang sudah beralih agama digambarkan pula dalam Carita Parahyangan. Pada saat itu masyarakat yang merasa tidak aman, dikarenakan mereka melanggar  Sanghyang Siksa.
Walaupun pengaruh Islam belum sampai ke pusat kerajaan, tetapi Prabu Jayadewata sudah bersiap untuk menghadapinya. Raja mulai merintis hubungan diplomasi dengan Portugis yang berkedudukan di Malaka. Dengan didahului oleh utusan dari kerajaan ke Malaka pada 1512, kemudian pada tahun 1522 di Pakwan terjadi kesepakatan antara keduanya yang menyepakati kerjasama dalam bidang keamanan dan bidang ekonomi. Pada waktu itu Prabu Jayadewata telah digantikan oleh puteranya yaitu Prabu Surawisesa (1521-1535).
Namun usaha-usaha raja Sunda tersebut tidak dapat menolong negaranya, karena keadaan tidak sesuai yang diharapkan. Pengaruh Islam semakin kuat, terlebih setelah Banten dan Sunda Kelapa dapat diduduki oleh pasukan Islam dari Cirebon dan Demak pada 1526 dan 1527. Sejak saat itu jalur perdagangan yang dikuasai kerajaan Sunda praktis terputus. Keadaan tersebut mengakibatkan pusat kerajaan menjadi terisolir dan tidak bisa lagi berhubungan dengan dunia luar. Terlebih pada tahun 1527, pasukan Portugis yang datang ke pelabuhan Sunda Kelapa berhasil di pukul mundur oleh armada Islam.

Desakkan pihak luar terus menekan pihak kerajaan, begitupun tekanan dari dalam negeri mulai bermunculan. Raja-raja Sunda selanjutnya tidak memiliki pribadi yang kuat, sikap mementingkan diri sendiri, dan hampir tidak memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Prabu Ratudewata (1535-1543) memilih menjadi raja pendeta daripada menghadapi kekacauan dalam negeri. Sang Ratu Saksi (1543-1551) memiliki sikap yang kejam dan berperangai rendah. Ia sering membunuh  orang tak berdosa, merampas harta orang seenaknya, tidak mengormati generasi tua, menghina kaum pendeta, dan sering main perempuan. Penggantinya, Tohaan di Majaya (1551-1567), ia lebih suka mempeindah keraton, mabuk-mabukan, dan berfoya-foya daripada menjalankan tugas sebagai raja. Karena itu pada tahun 1579, pasukan Banten melancarkan serangan ke ibukota raja Sunda terakhir yaitu Nusiya Mulya tidak berdaya menahan serangan tersebut. Hingga akhirnya kerajaan Sunda jatuh dan dikuasai Islam.

1 comment:

  1. Anonymous2/2/22 00:29

    Harrah's Casino Site | Live Dealer - Lucky Club
    Harrah's has luckyclub over 20 table games, a sportsbook, and an express check-in for every $50 deposit! The casino also accepts slots, live dealer games,

    ReplyDelete

Sesebutan Usum-Usuman

Usum mamaréng = usum mimiti rék ngijih. Usum ngijih = usum hujan, ngecrek saban poé. Usum dangdarat = usum panyelang antara usum hujan je...