Memasuki
ruang filsafat, sama peliknya dengan memasuki jiwa manusia yang diliputi
misteri, karena adanya beberapa hal dan peristiwa yang menyelimutinya. Dalam
kajian ini, saya sebagai penulis ingin mengungkapkan argumen saya dari sebuah
pertanyaan, “apakah filsafat dapat memberikan kontribusi dalam kajian
ke-islam-an?”. Sebelum memberikan argumentasi tersebut, mungkin ada baiknya
saya memberikan pemahaman yang saya miliki tentang pengertian dan kajian dasar
ilmu filsafat.
Dari yang
pemahaman yang saya dapatkan, secara bahasa kata filsafat berasal dari dua suku
kata berbahasa Yunani, yaitu philos dan
sophia. Philos dapat diartikan
sebagai kesenangan atau kecintaan atau kegemaran. Sementara shopia dapat diartikan sebagai
kebijaksanaan. Jadi, menurut bahasa filsafat dapat diartikan sebagai kecintaan
terhadap kebijaksanaan. Adapun menurut pemhaman saya tentang filsafat ialah
suatu sikap dan pemikiran seseorang yang mendalam, sadar, dan dewasa dalam
memikirkan segala sesuatu secara mendalam sehingga sampai kepada inti persoalan
terhadap hal yang disikapinya.
Sementara
itu kata lain filsafat adalah hakikat dan
hikmah, dengan sebuah pertanyaan yang
sering saya dengar dari orang lain dalam menyikapi suatu hal (kejadian) yang
dialaminya, “Apa hikmah dari semua ini?”. Secara tidak langsung dengan
pertanyaan tersebut berarti si penanya sedang mencari latar belakang terdalam
satu kejadian dengan kajian yang bersifat filsafat, yaitu dengan pengantar kata
“apa” yang menunjukan kajian ontologi dari filsafat. Selain kata “apa” sebagai
pengantar ontologi filsafat, adapun kajian epistemologi (bagaimana), dan
aksiologi (mengapa).
Hakikat dan hikmah sendiri merupakan dua nama Al-Qur’an disamping Al-Furqon (pembeda), dan dengan demikian
kitab suci umat Islam ini dapat diartikan pula sebagai filsafat. Oleh karena
itu umat Islam yang menolak filsafat secara tidak langsung menolak Al-Qur’an
itu sendiri yang mengkaji kehidupan secara mendalam, bukan sebuah paksaan atau
dogma, dan secara mendalam membahasakan logika atau ilmu, etika atau moral, dan
estetika atau seni yang berperan sebagai objek formal dari filsafat. Dari
argumentasi tersebut, mungkin sudah ada sedikit gambaran yang menunjukan
kontribusi filsafat terhadap agama Islam.
Namun dari rujukan
diatas saya rasa belum cukup untuk mengemukakan argumentasi dari pernyataan
tentang kontribusi filsafat dalam kajian ke-Islam-an tersebut. Beberapa
pemikiran filsuf Yunani dan filsuf Islam mungkin akan membuka sedikit
penjelasan tentang kontribusi kajian filsafat, khususnya dalam kehidupan Islam.
Para Filsuf Yunani
1. PLATO
Dalam
keseimbangan logika dan estetika, ungkapan Plato dirasa lebih tepat. Plato
pernah mengungkapkan, bahwa kesengsaraan dunia tidak akan berakhir sebelum
filsuf menjadi raja, atau raja-raja menjadi filsuf (Inu kencana Syafi’i, 2004).
Dalam hal ini titik temu dari keseimbangan tersebut itulah yang menjadi kajian
kajian saya.
Sehingga
Plato membagi tiga golongan struktur sosial masyarakat yaitu; kelompok filsuf
(pengkaji kebijaksanaan dan kebaikan dalam kehidupan sosial masyarakat),
kelompok prajurit (senantiasa memikirkan kebeneran dan bertugas mengawasi dan
menjaga keamanan), dan kelompok masyarakat jelata (sebagai penopang ekonomi
rakyat dalam kehidupan sosial masyarakat). Dari sini sedikit tergambar bahwa
Plato ingin menyeimbangkan sebuah struktur kehidupan sosial dengan
menyeimbangkan logika, etika, dan estetika. Dan plato sendiri adalah seorang
pencari Tuhan dalam hidupnya, sehingga paradigma pemikirannya menjadi paradigma
teokratis dan dikolaborasi dengan rasionalistis. Itu semua sejalan dengan Nabi
Muhammad SAW, yang menyeimbangkan logika, etika, dan estetika dalam kajian
tatanan ke-Islam-an.
2. Aristoteles
Aristoteles
adalah seorang filsuf yang berusaha memisahkan antara kerohanian (dalam hal ini
agama) dan keduniawian (sekuler). Tuhan baginya muncul karena intelektual
manusia belaka, bila alam semesta berawal dari Tuhan, maka awalnya dapat diusut
dengan mengetahui Tuhan itu sendiri. Dalam hal tersebut Nabi Muhammad SAW hadir
sebagai pembawa tauhid Islam. Sehingga pengetahuan manusia tentang Tuhan hadir
dalam bentuk ilmu tauhid khususnya, dan dari ilmu tersebut berkembanglah ilmu
fiqih, dan tasawuf Islam dari pengembangan para ahli tafsir Al-Qur’an dan
Hadits. Dan pemisahan antara sekuler dan agama menjadi sangat kentara dalam
dunia Islam, sehingga lahirlah ilmu tasawuf dalam agama Islam.
PARA FILSUF ISLAM
1. Al-Kindi
Al-Kindi
merupakan filsuf Islam pertama. Mengenai filsafat beliau berpendapat bahwa
agama dan filsafat tidak ada pertentangan. Ilmu tauhid merupakan cabang
termulia dari filsafat. Filsafat membahas kebenaran dan hakikat, dan hakikat
pertama itu ialah Tuhan. Al-Kindi mengulas teori tentang teori keadilan Tuhan,
dan berpendapat bahwa semua perbuatan Tuhan tidak mengandung unsur dzalim. Al-Kindi juga membahas jiwa dan
akal. Jiwa manusia mempunyai tiga daya yaitu nafsu yang terpusat di perut,
berahi yang terpusat di dada, dan daya berfikir yang terpusat di kepala. Daya berfikir inilah yang disebut
akal. Dalam pemikiran filosofisnya, beliau banyak dipengaruhi oleh Aristoteles,
Plato, dan Neo-Platonisme (Muhammad Alfian, 2012).
2. Al-Farabi
Al-Farabi
memfokuskan diri pada kebahagiaan. Menurutnya, kebahagiaan merupakan tujuan
tertinggi dari dambaan setiap manusia. Kebahagiaan yang merupakan tujuan
tertinggi manusia hanya bisa diraih dengan perbuatan terpuji melalui kehandak
dan pemahaman yang didasarkan pada niat yang suci. Disini dapat dijelaskan
bahwa manusia bisa berbuat baik jika berkehendak. Dari pendapat tersebut pula, manusia
harus berkonsentrasi untuk menjalankan amal iradi
(kehendak). Untuk itu dalam argumentasi Al-Farabi itu kita dapat membedakan iradi dan ikhtiar. Dalam pendapat tersebut bahwa iradah lahir dari oleh keinginan yang dibangkitkan oleh rasa dan
imajinasi, sementara ikhtiar
semata-mata lahir oleh pemikiran dan analisa.
Oleh karena
itu, manusia bebas untuk mewujudkan segala sesuatu yang dikehendakinya dan
diperbuatnya. Akan tetapi, kebebasan ini harus tunduk pada hukum-hukum alam,
masing-masing diberi fasilitas sesuai dengan kejadiannya, dan setiap yang ada
ini terjadi atas qada dan qadar Tuhan.
3. Imam Al-Ghazali
Pada
dasarnya Imam Ghazali menolak para filsuf memikirkan tentang Alloh dan kejadian
alam ini secara akal, itulah sebabnya beliau menulis kitab Tahafut Al-Falasifah (Kesalahan Filsafat) karena beliau tidak
menyukai pemikiran filsuf barat dan
filsuf Islam yang mengingkari kebesaran
Alloh Sang Maha Pencipta, jadi beliau semula menolak eksistensialisme.
Sebagai
seorang yang mendalami ilmu fiqih beliau mengecam para filsuf yang meremehkan
upacara religi (ibadah dalam hal ini), karena bagi beliau upacara ibadah adalah
kewajiban untuk mencapai kesempurnaan, bahkan lebih jauh daripada itu bagi beliau upacara keagamaan tidak hanya
cukup dengan mengerjakan secara lahiriah, beliau bahkan berhasil membuka tabir
rahasia sholat, puasa, haji, dan lain sebagainya.
Namun
sebagai pengkaji Al-Qur’an dan mempunyai pikiran rasional beliau kemudian
kembali menggunakan akal dalam membahas arti hidup, hikmah Al-Qur’an serta
hakikat kenabian sehingga Imam Ghazali dianggap berhasil membela kemurnian agam
Islam. Jadi pikiran para filsuf yang selama ini cukup membingungkan dalam
mengkaji Tuhan, beliau uraikan dengan filsafat Islam itu sendiri. Sebaliknya dalam
kesempatan lain serangan dari para mistik Islam yang sebenarnya membahayakan aqidah, beliau berikan tuntunan yang
sesuai dengan syariat dan fiqih Islam, itulah sebabnya beliau diberi gelar Hujatul Muslim (Tempat Umat Islam
Berargumentasi).
4. Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd
banyak memusatkan perhatian pada filsafat Aristoteles, dan menulis ringkasan
serta tafsiran yang mencakup sebagian besar karangan filsuf Yunani. Dalam
bidang filsafat, Ibnu Rusyd menulis kitab Tahafut
At-tahafut (Kesalahan Buku yang Salah). Sebagai jawaban atas kitab Tahafut Al-Falasifah karangan Imam
Ghazali. Namun saya rasa Ibnu Rusyd tidak menyalahkan Imam Ghazali dalam
kitabnya tersebut, hanya saja Ibnu Rusyd ingin meluruskan bahwa sebagai umat
Islam jangan pernah menolak dan menerima mentah-mentah seluruhnya filsafat
Yunani.
Sebagai
seorang yang berfikir rasional Ibnu Rusyd menafsirkan agama dengan akal, sama
seperti Imam Ghazali yang mebahas arti hidup dengan menggunakan akal, namun
bukan berarti harus meninggalkan agama Islam. Lagi pula ratusan dari ayat
Al-Qur’an membahas tentang akal, filsafat, dan kewajiban berfikir.
Dari
beberapa argumentasi tersebut dapat disimpulkan bahwa, jika sekarang ini orang
mencoba memikirkan dengan akal mengapa umat Islam mengizinkan perang, mengapa
umat Islam memperbolehkan laki-laki beristri lebih dari satu, mengapa umat
Islam berwudhu kembali setelah buang angin, mengapa umat Islam membedakan
wanita dengan laki-laki dalam hal menjadi saksi, tetapi dalam hal yang lain
posisinya seimbang? Maka jawabannya sangat diterima akal, karena umat Islam
memerlukan perang terhadap kedzaliman,
umat Islam menginginkan pertanggungjawaban terhadap jumlah besarnya jumlah
wanita secara hukum bukan untuk menyia-nyiaknnya, umat Islam sedang menghormati
keberadaan transendentalnya sholat, kecuali kalau mengeluarkan kotoran mengenai
kotoran lalu mengajarkan cara mencucinya, umat Islam melakukan studi khusus
wanita tentang emosi yang dimilikinya. Jadi, dalam hal ini filsafat mempunyai
kontribusi terhadap kajian Islam, termasuk Imam Ghazali sendiri yang pada
awalnya menolak filsafat barat dan berfilsafat dengan cara sendiri agar
tercipta kemurnian ajaran agama Islam.