Dalam pembahasannya, kebudayaan merupakan suatu ruang dalam
kegiatan sosial di masyarakat. Permasalahan tentang pemahaman kebudayaan
merupakan sebuah obyek yang sangat menarik untuk dibahas. Untuk memahami
kebudayaan diperlukan cara berpikir yang panjang dan mendalam. Kebudayaan
sendiri merupakan sebuah titipan sadar kepada manusia, dan digunakan secara
sadar pula dan bebas bagi manusia sekalipun bukan sebagai nasib. Kata
kebudayaan pun sering kita dengar
dalam keseharian, baik itu dalam konteks formal atau informal.
Sementara kata kebudayaan sendiri berasal dari bahasa
sanskerta, buddhayah, yang merupakan
bentuk jamak dari buddi dan diartikan
sebagai akal. (Muhammad Alfan, 2013). Dari sini kita dapat mengartikan
kebudayaan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan akal. Namun dalam sebuah
pemahaman yang saya dapatkan, pengertian kebudayaan adalah sebuah hasil
pemikiran dan tindakan berpola manusia untuk menata kehidupan di masyarakat dan
dapat diterima oleh masyarakat yang kemudian diwariskan secara turun temurun
dari generasi ke generasi. Dalam hal ini kebudayaan merupakan milik bersama
anggota suatu masyarakat, digunakan oleh anggota masyarakat sebagai nilai-nilai
dan norma dalam menjalankan kehidupan, dan diwariskan kepada generasi
penerusnya melalui proses pengajaran dengan menggunakan simbol-simbol tertentu
yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, baik itu melalui lisan atau tulisan atau
bahkan melalui berbagai peralatan yang dibuat oleh masyarakat yang mempelopori
budaya itu sendiri.
Indonesia merupakan negara yang kaya akan kebudayaan dari
berbagai etnis yang ada di negara ini. Jawa, Sunda, Batak, Melayu, Betawi dan
lain sebagainya. Namun dalam pembahasan kali ini, saya lebih tertarik membahas
tentang salah satu etnis yang berada di Indonesia, tepatnya di sebelah barat
pulau Jawa, yaitu Sunda. Bukan untuk membandingkan seberapa baik dengan budaya
lain, kerena menurut saya semua kebudayaan etnis yang ada di Indonesia ini
merupakan kebudayaan-kebudayaan yang sangat baik dan harus dijunjung tinggi
oleh para pelaku kebudayaan daerah masing-masing, tetapi lebih karena saya
merupakan manusia yang lahir dari etnis Sunda dan sepatutnya menjunjung tinggi
nilai luhur budaya daerah sendiri tanpa harus membandingkan seberapa baik
dengan kebudayaan lainnya di Indonesia.
Jika merunut sejarahnya, setidaknya ada enam periode yang
memengaruhi perkembangan kebudayaan Sunda. Keenam periode perkembangan tersebut
adalah masa prasejarah, masa pengaruh kebudayaan Hindu—Budha, masa pengaruh
kebudayaan Islam, masa pengaruh kebudayaan Jawa, masa pengaruh kebudayaan Barat, dan masa
pengaruh kebudayaan nasional serta global.
Menurut Ekadjati (2009:12), pada masa prasejarah, di tatar
Sunda telah hidup kebudayaan yang diciptakan dan didukung oleh masyarakat yang
telah lama mendiami wilayah ini, sebagaimana nampak dari peninggalan
benda-benda budayanya. Selanjutnya Ekadjati (2009:13) menyebutkan bahwa
kebudayaan Sunda setelah masuk pengaruh kebudayaan Hindu—Budha terbentuk dan
berkembang pada masa Kerajaan Tarumanagara, Kerajaan Galuh, dan Kerajaan Sunda
(abad ke-5 hingga abad ke-16 Masehi).
Menjelang runtuhnya Kerajaan Sunda, pengaruh Islam mulai
nampak di beberapa tempat, utamanya di Banten dan Cirebon. Di kedua wilayah itu
bahkan kemudian berdiri pula kesultanan. Pengaruh kebudayaan Islam semakin
menguat setelah kesultanan Banten dan Cirebon berhasil melumpuhkan Kerajaan
Sunda yang pada waktu itu beribukota di Pakuan Pajajaran. Pada masa itu pula
pengaruh kebudayaan Jawa masuk ke wilayah Sunda. Hal ini disebabkan oleh posisi
kesultanan Banten dan terutama Cirebon yang dikuasai oleh Demak kemudian
Mataram pada abad ke-16 sampai dengan abad ke-19.
Pengaruh kebudayaan Barat terhadap kebudayaan Sunda terjadi
ketika masa Kolonial Hindia Belanda, yaitu abad ke-19 hingga pertengahan abad
ke-20 sedangkan kebudayaan nasional dan kebudayaan global mulai mempengaruhi
kebudayaan Sunda sejak pertengahan abad ke-20 sampai dengan sekarang, yaitu
ketika Negara Republik Indonesia mulai berdiri dan hubungan dengan dunia luar
mulai terbuka luas.
Dari keenam periode tersebut, Ekadjati (2009:12) menyebutkan
bahwa kebudayaan Sunda pada zaman kerajaan Sunda dianggap oleh orang Sunda
sebagai kebudayaan ideal dan murni. Menurut Ekadjati (2009:13), zaman tersebut
bahkan dipandang oleh manusia Sunda zaman sekarang sebagai masa keemasan orang
Sunda karena Kerajaan Sunda dianggap sebagai negara ideal yang secara
keseluruhan mencerminkan masa kejayaan, kemerdekaan, dan kemakmuran dunia tatar
Sunda.
Sumardjo (2011:3) mengungkapkan bahwa pada dasarnya,
kebudayaan Sunda bersifat intangible atau tidak nampak karena adanya di dalam
pikiran masyarakatnya. Namun, kebudayaan itu dapat diketahui dari hasil-hasil
tangible, yaitu semua bentuk artefak yang dihasilkan masyarakat Sunda sejak
adanya di wilayah Sunda. Artinya, informasi mengenai kebudayaan Sunda pada masa
kerajaan pun dapat diperoleh dari berbagai peninggalan sejarah dari masa
kerajaan tersebut. Peninggalan-peninggalan sejarah yang kemudian menjadi sumber
historiografi tradisional Sunda itu berupa tradisi lisan, tradisi tulisan, dan
benda-benda budaya lainnya.
Berdasarkan naskah Carita Parahyangan misalnya, kita dapat
mengetahui corak kehidupan di masa kerajaan Sunda, Abdurrahman, dkk. (1991:63)
mengungkapkan bahwa pada masa kerajaan Sunda corak kehidupan masyarakatnya
dipengaruhi oleh ajaran agama Hindu, agama Budha, dan kepercayaan terhadap
ajaran leluhur. Keseluruhan ajaran agama dan etika kehidupan itu terdapat dalam
kitab yang bernama Sanghyang Siksa Kandang Karesian.
Ekadjati (2009:131) mengungkapkan bahwa Carita Parahiyangan
dan Sanghyang Siksa Kandang Karesian mengemukakan tiga macam himpunan peraturan
yang berlaku pada masa Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda. Ketiga jenis
peraturan tersebut disusun berdasarkan dua sumber, yaitu ajaran agama Hindu,
Budha, dan Jatisunda (yang merupakan sinkretisme antara ajaran agama Hindu,
Budha, dan pemujaan terhadap arwah nenek moyang), serta ajaran leluhur
(purbatisti, purbajati, patikrama).
Purbatisti dan purbajati adalah penyebutan untuk ajaran
leluhur menurut Carita Parahiyangan sedangkan patikrama adalah penyebutan untuk
ajaran leluhur berdasarkan Amanat Galunggung. Menurut Ekadjati (2009:132),
makna purbatisti ialah seperti masa lalu; maksudnya ajaran leluhur, himpunan
peraturan, adat atau tradisi yang berlaku masa lalu. Adapun patikrama bermakna
tuntunan atau pedoman hidup bagi rakyat dan pemimpin atau pejabat kerajaan agar
tercapai kesejahteraan hidup di dunia ini dan di akhirat Ekadjati (2009:181)